LELAKI itu terkesima ketika mengetahui saya seorang muslim. Ia
bergabung dengan klub koresponden asing di Hong Kong, seorang Inggris
yang saya lupa namanya dan hadir dalam diskusi saya tentang Islam dan
dunia modern. Ia kemudian bertanya apa nama keluarga ayah saya dan
ketika saya menjawab, “Abdul Malik,” ia berkata, “Ooh…” seraya
menunjukkan ekspresi lebih takjub lagi.
Nama saya sering menimbulkan salah paham di kalangan orang-orang yang menganggap seorang muslim biasanya bernama Arab.
Sebagian orang lupa bahwa penyebaran Islam telah melampaui jazirah ia
dilahirkan dan penghuni wilayah atau negeri barunya bukan lagi
orang-orang Arab. Meski saya juga tidak protes ketika adik perempuan
saya menamai putra pertamanya Muhammad Faturrahman, atau adik laki-laki
saya menamai putra bungsunya Muhammad Habiburrasul.
Banyak pula yang menyangka saya beragama Katolik atau Protestan
gara-gara unsur “Christ” dalam nama saya, yang kelak mereka hubungkan
dengan Yesus Kristus, sang juru selamat dari Nazareth itu, atau umat
Islam menyebutnya Isa Almasih, nabi dan rasul sebelum Muhammad. Secara
fisik, saya bahkan lebih mirip orang-orang Cina di Hong Kong atau orang
Jepang ketimbang orang-orang Arab, yang beberapa nama mereka memang
tercantum dalam silsilah keluarga kami.
Nama dan wujud saya terkadang memicu kejadian lucu.
Ketika belajar di sekolah menengah atas di Bandung, saya memilih mata
pelajaran agama Islam, lebih karena semua teman saya yang beragama
Islam juga memilih mata pelajaran ini. Tapi saya tidak pernah mendapat
giliran membaca Alquran. Tiap kali giliran saya tiba, guru kami langsung
menunjuk murid yang lain untuk membacanya. Guru agama kami, perempuan
paruh baya yang selalu menutup kepalanya dengan selendang dan mengenakan
baju kurung itu, mungkin menganggap saya mualaf, baru masuk Islam,
sehingga ia memilih tak menyiksa saya untuk melafal kalimat dalam bahasa
yang tak pernah kami pakai sehari-hari itu. Tapi bagaimanapun ia harus
memberi nilai untuk mata pelajaran agama di buku raport saya, sehingga
ia perlu tahu sejauh mana kemampuan saya. Setelah ia mengetahui Islam
adalah agama saya, ia malah bingung dan berkata, “Tapi kenapa nama kamu
Christanty?”
Sumber masalahnya ada pada ayah saya yang mengagumi petenis kelas
dunia Chris Evert. Tambahan “Tanty” itu memang hanya sebagai penyedap
nama. Nah, nama depan saya dipungut ayah dari nama putri presiden
Amerika Lyndon B Johnson, yang menurutnya cerdas dan patut dikagumi.
Namun, setahu saya merek mesin jahit di rumah kami juga “Linda”.
Ketika saya masih kanak-kanak, saya memahami Islam sebagai kekuatan
untuk melawan sihir. Ayat-ayat Alquran dipercaya mampu mengusir ruh-ruh
jahat.
Bibi saya, sepupu ibu saya, putri tunggal kakak nenek saya, yang
biasa kami panggil “Mak Unggal” sering kesurupan. Ayat-ayat Alquran
terdengar lebih banyak di telinganya karena kebutuhan khusus itu.
Mak Unggal bukan lagi Mak Unggal yang kami kenal tiap kali ia
kesurupan. Ia akan tertawa-tawa, marah-marah dan suara Mak Unggal yang
kami kenal berubah jadi suara nenek tua yang menakutkan.
Saya sangat menyukai Mak Unggal, karena ia pintar masak, terutama
empek-empek, yaitu penganan dari adonan daging ikan dan sagu yang
digoreng atau direbus. Selain itu, ia ramah dan gemar bercerita tentang
apa saja.
Suatu hari Minggu saya mendesak ibu dan ayah saya untuk berkunjung ke
rumah Mak Unggal, yang berjarak dua jam perjalanan bermobil dari kota
kami. Ayah menyetir, ibu duduk di sebelahnya, sedang saya dan adik-adik
bertumpuk di jok belakang dengan membayangkan empek-empek bikinan Mak
Unggal. Sepanjang jalan saya dan adik-adik saya menyanyi riang,
mengikuti lagu-lagu pop berbahasa Inggris yang diputar ayah, antara lain
lagu Bobby Vinton.
I love how you love me, whenever you kiss me, I
love the way you always treats me tenderly….yuuu… lyyyyyyy… lop, lop
miiiiiiiii….
Oh, ya, sebelum menghidupkan mesin mobil, ayah akan berdoa selama
kurang lebih 15 menit. Ia membaca bermacam surat. Kata ayah, doa-doa itu
untuk membuat perjalanan kami lancar dan dilindungi Allah.
Begitu kami sampai di halaman rumah Mak Unggal, orang-orang tampak
ramai keluar-masuk rumah. Saya buru-buru menerobos ke dalam, karena rasa
ingin tahu.
Mak Unggal terbaring di ruang tengah, menceracau dan sesekali
membentak-bentak. Ia kesurupan lagi. Pak Unggal, suami Mak Unggal, duduk
di sisi istrinya dan komat-kamit membaca ayat-ayat Alquran. Saya
kecewa, karena Mak Unggal tidak akan masak empek-empek hari itu.
Ketika Mak Unggal mulai berteriak-teriak diselingi tawa kerasnya,
saya dan adik-adik saya langsung kocar-kacir masuk ke salah satu kamar
dan bersembunyi di bawah ranjang besi. Kami semua terbatuk-batuk, karena
ternyata kolong ranjang itu tidak pernah disapu dan banyak sekali debu.
Pak Unggal dan orang-orang di sekeliling Mak Unggal hanya terperangah
ketika Mak Unggal tiba-tiba bangun dan berlari ke arah pohon jambu di
halaman. Gerakan Mak Unggal begitu gesit. Semua orang panik, sedang Mak
Unggal secepat kilat memanjat pohon itu dan bertengger di dahan
tertinggi. Orang-orang lantas menghambur ke bawah pohon jambu dan
berteriak-teriak menyuruhnya turun, tapi ia tak peduli. Akhirnya
tetangga Mak Unggal memanggil ustadz yang cukup terkenal untuk mengusir
ruh nenek tua dari tubuh Mak Unggal kami yang tercinta. Nama ustadz
tersebut Abang Suhaili bin Abang Aziz, yang tak lain dari adik ipar ayah
saya. Su Abot, begitu kami biasa memanggilnya, adalah imam masjid di
kampungnya. Su Abot langsung komat-kamit membaca doa-doa. Berjam-jam
kemudian Mak Unggal mulai lelah dan orang-orang pun sibuk menurunkannya
dari pohon jambu.
Namun, Mak Unggal masih sering kesurupan sampai kini. Usianya hampir
70 tahun. Bila ia tiba-tiba menghilang dari rumah, anak dan cucunya akan
memeriksa pohon-pohon di halaman atau kebun tetangga. Mak Unggal pasti
ada di situ. Ibarat pesawat terbang, bandara Mak Unggal ada di pohon. Ia
sanggup memanjat secepat monyet, tapi celakanya tidak bisa turun
sendiri. Anak atau cucunya akan membantu Mak Unggal kembali menginjak
bumi.
Indira atau Tata, adik saya, pernah mengidap sakit aneh waktu kecil.
Kakinya bersisik seperti ikan Garapu. Orangtua kami membawanya ke dokter
berkali-kali, tapi sakitnya tak kunjung hilang, malah makin menjadi.
Sopir ayah saya, Mang Tan, berinisiatif mengobati Tata. Menurut Mang
Tan, Tata terkena basak ular nasi, penyakit yang disebabkan kibasan ular
nasi yang kebetulan melintas di depannya atau persentuhannya dengan
jejak ular itu di tanah.
Mang Tan membacakan ayat tertentu dalam Alquran dan dicampur pula dengan mantera. Tata sembuh seketika.
Mang Tan bertubuh tinggi besar. Kulitnya hitam berbulu. Sepasang
matanya selalu merah. Tapi tutur katanya sopan dan lemah-lembut. Mang
Tan memiliki beberapa istri, yang di rumah kami kebiasaan lelaki
beristri banyak ini dianggap hal tak terpuji. Istri terakhir Mang Tan
adalah cucu raja siluman buaya, Akek Rukam. Menjelang ajalnya, Akek
Rukam yang berwujud manusia masuk ke sungai dan berubah jadi buaya
selamanya.
Mang Tan yang sakti tiada berkutik di depan istrinya. Ia pernah
dilempar keluar jendela rumah mereka oleh sang istri saat mereka
bertengkar. Putri pertama Mang Tan dengan istrinya yang ganas ini
dinamai Cahaya Neraka.
Sejak kecil saya dan adik-adik harus belajar mengaji. Orangtua kami
mendatangkan guru mengaji ke rumah. Saya tidak suka belajar mengaji,
karena guru mengaji kami tak mampu menjelaskan isi ayat-ayat Alquran
itu. Akhirnya ibu saya yang mengajari saya membaca Alquran, tapi jawaban
ibu juga tak memuaskan ketika ditanya.
Ayah saya secara bergurau pernah hendak menambahkan nama “Siti” di
muka nama saya, karena ada yang memberitahunya bahwa sikap membangkang
dan keras kepala itu bersumber pada nama saya yang tak Islami atau
tepatnya tak berbau Arab sama sekali. Tentu saja, saya menolak. Saya
sudah merasa nyaman dan keren dengan nama ini. Yuk Mimi, tetangga kami
yang anaknya sakit-sakitan juga diminta seorang ustadz untuk mengubah
nama anaknya dari Dezky jadi Safruddin. Kata si ustadz, anak Yuk Mimi
keberatan nama. Entah apa maksudnya. Tapi Dezky yang kelak jadi
Safruddin itu tetap saja sakit-sakitan.
Kakek saya dari sebelah ibu tergolong taat beragama. Dulu ia
mempunyai banyak sekali azimat warisan keluarga. Ketika ibu menikah
dengan ayah, kakek memberi semua azimat tersebut pada ayah saya. Berat
keseluruhan barang-barang bertuah itu sekitar tiga kilogram. Ayah saya
hanya memakai satu saja pemberian kakek, yaitu cincin bermata jingga
warisan keluarga kakek secara turun-temurun. Cincin itu dipakai ayah
sampai ia meninggal dunia dua tahun lalu. Sebagian azimat kakek dibuang
ayah ke sungai, sebagian lagi dibuang ke laut. Kakek tidak marah, karena
ia sendiri tidak memakai lagi semua azimat tadi. Kakek kelak ikut
Muhammadiyah, sekte kaum Wahabi di Indonesia. Namun, ia sama sekali
tidak mendukung negara Islam, meski ia juga memprotes pemerintah Orde
Baru sepanjang hidupnya. Kakek memilih Muhammadiyah, karena aliran ini
melarang orang menyelenggarakan acara doa dan makan minum untuk orang
yang sudah meninggal dunia. Biaya acara tersebut kadang memberatkan
orang yang masih hidup. Keluarga orang yang berduka itu harus menanggung
dua beban sekaligus: ekonomi dan kesedihan. Kakek menentang
adat-istiadat yang menyulitkan hidup manusia.
Ajaran Muhammadiyah antara lain menolak bid’ah dan kemusyrikan.
Bid’ah adalah praktik yang melebih-lebihkan ibadah, sedang musyrik
merupakan tindak pemujaan terhadap selain Allah.
Namun, mereka banyak melakukan ketidakkonsistenan dalam beragama.
Orang-orang Muhammadiyah di Yogyakarta, misalnya membiarkan para sultan
yang beragama Islam dan tetangga mereka di Kauman itu memuja Nyai Roro
Kidul, yang juga dianggap sebagai istri gaib seluruh sultan Yogya.
Mereka menentang orang berziarah kubur di Pagaruyung atau orang Dayak
menyembah batang kayu, tapi sama sekali tidak menentang praktik
kemusyrikan yang dilakukan di depan mata mereka sendiri.
Double standard policy jadi bagian dari politik kepentingan, juga teknik bertahan hidup.
Agama itu ibarat pakaian. Orang berhak memilih pakaian yang sesuai
untuknya. Sebab manusia pun difitrahkan berbeda sejak lahir, berbeda
jenis kelamin, berbeda budaya, berbeda suku dan bangsa. Jadi penaklukan
dunia yang mengatasnamakan satu agama sama sekali melanggar fitrah
tersebut.
Kakek saya tak pernah meninggalkan shalat lima waktu dan tiap hari
Jumat ia selalu pergi ke masjid. Entah kenapa tiap kali mendengar orang
menyebut “hari Jumat” saya seolah mencium parfum kakek, sampai hari ini.
Jangan kalian bayangkan parfum kakek saya bermerek Salvatore Ferragamo
atau Hermes. Parfumnya dibeli di pasar dekat rumah.
Di hari Jumat kakek selalu memakai parfum andalannya itu, mengenakan
kemeja, kain sarung dan jas! Saya tidak pernah melihat kakek memakai
sorban atau memanjangkan jenggotnya seperti orang-orang Arab.
Tapi sebagian besar orang lupa bahwa Islam sebagai agama dan budaya
Arab tempat agama tersebut lahir adalah dua hal yang berbeda. Islam
adalah agama untuk siapa saja yang percaya, sedangkan busana,
kesusastraan, gastronomi dan musik Arab adalah budaya suatu bangsa yang
tak serta-merta berkaitan dengan ajaran Islam itu sendiri.
Setelah waktu-waktu shalat, rumah kami selalu dipenuhi suara merdu
orang mengaji Alquran. Kakek, ayah dan ibu saya mengaji setiap hari,
kecuali nenek yang rabun dan tidak sanggup melihat huruf-huruf lagi.
Sebelum kakek meninggal dunia, ia berpesan agar saya menyayangi ibu
dan ayah serta jangan berkata kasar pada orangtua. Berkali-kali ia
menunjukkan ayat tentang sikap anak terhadap orangtua. Ia juga berkata
agar selalu berbuat baik pada sesama tanpa memandang agama dan bangsa,
karena perbuatan jahat maupun baik akan dibalas di dunia ini, sedang
surga dan neraka adalah rahasia Allah.
Islam jadi menakutkan ketika suatu hari saya menemukan selebaran tentang hari kiamat.
Saya masih di kelas lima sekolah dasar waktu itu. Selebaran tersebut
tiba-tiba berserak di halaman sekolah. Murid-murid yang lain juga
memungut dan membacanya.
Selebaran itu mengutip kisah juru kunci makam Nabi Muhammad, yang
menyatakan bahwa barangsiapa melihat benda menyerupai sebutir telur
besar di langit, itulah pertanda kiamat segera tiba.
Saya benar-benar panik. Setiba di rumah, saya memperlihatkan
selebaran itu pada ibu saya, yang menenangkan saya dan berkata, “Jangan
mempercayai isi selebaran seperti ini. Hanya Allah yang Maha
Mengetahui.”
Rupanya hal itu merupakan ulah orang-orang yang mencari nafkah dari
agama. Tidak berapa lama, beberapa lelaki tampak menjual buku-buku agama
dari rumah ke rumah. Banyak orang yang kemudian menyebut diri mereka
sendiri sebagai ustadz serta-merta menyelenggarakan pengajian dan
menghimpun orang untuk bersedekah, mengelola acara menangis bersama,
menghimpun orang-orang yang putus asa dan kesepian ini dalam kasih
Ilahi.
“Semakin banyak orang yang mencari makan dari agama, maka
penyimpangan dari ajaran Islam akan terus terjadi,” kata adik saya,
Budhi.
Di Aceh, lembaga bernama wilayatul hisbah atau polisi syariat berdiri
setelah tsunami dan menjadi lapangan pekerjaan baru. Inti dari
fundamentalisme agama justru tidak berhubungan dengan agama itu sendiri,
melainkan kepentingan ekonomi dan politik pihak tertentu atau sekian
banyak pihak.
Islam di Aceh, misalnya, kini terkesan sebagai monster, bukan agama
penyejuk jiwa. Para pendukungnya seakan bisa melakukan apa saja termasuk
tindak kekerasan terhadap siapa pun yang berseberangan pemahamannya
dengan mereka tentang Islam. Namun Irwandi Yusuf, gubernur Aceh yang
mantan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu, menolak menandatangani qanun
jinayat yang mensahkan praktik hukum rajam di Aceh. Usut punya usut,
syariat Islam di Aceh ini ternyata tidak termasuk dalam tuntutan
perjuangan GAM. Ia telah diupayakan penerapannya di masa Darurat Militer
di Aceh, ketika parlemen Aceh masih dikuasai para legislator dari
partai-partai Islam nasional yang berbasis di Jakarta. Orang Aceh
menyebut syariat Islam di Aceh sebagai “bikinan Jakarta”. Tentu saja,
tidak seperti kue yang biasa Anda makan, yang para pembuat, proses
pembuatannya atau toko yang menjualnya bisa diketahui dengan mudah, Anda
harus mengurai begitu banyak cerita, simpangan, dan dialektikanya
ketika bicara soal kue istimewa yang satu ini.
Seorang keponakan ayah saya tiba-tiba jadi pemimpin tarekat dan hal
itu mengejutkan keluarga kami. Bang Aton sama sekali bukan orang yang
religius sebelumnya. Kini ia punya perkumpulan tarekat dan sejumlah
pengikut fanatik di Pangkalpinang, Pulau Bangka.
Barangsiapa yang jadi pengikut tarekat ini bisa bertemu ruh-ruh para
nabi dan berdialog dengan mereka, tentu dengan Bang Aton sebagai
perantara. Namun, latihan kebatinan ini sama sekali tidak mempengaruhi
hubungan sosialnya dengan manusia lain di luar perkumpulan tarekatnya
dan juga tidak mengganggu ketertiban masyarakat. Ia juga tetap menyambut
tangan saya ketika bersalaman, tidak seperti satu dua lelaki berjenggot
atau yang tidak berjenggot yang menganggap bersalaman itu sebagai pintu
maksiat dan menganggap kafir orang yang tidak segaris dengan mereka. Ia
juga tidak pernah menyatakan Islam yang dipraktikkannya adalah yang
paling benar, lalu menyatakan halal darah mereka yang berbeda pandangan.
Jadi saya tidak mempersoalkannya. Ia sama sekali tidak bergabung dengan
Front Pembela Islam atau FPI.
Di malam tertentu Bang Aton dan pengikutnya akan masuk ke dalam satu
ruangan dan mematikan semua lampu atau bergelap-gelapan agar bisa
bercakap dengan ruh Nabi Muhammad secara batin.
Interpretasi terhadap ajaran Islam rupanya bukan milik sekelompok
orang atau para ulama saja, setidaknya itu yang terjadi dalam ruang
lingkup keluarga kami. Mak Sol, saya juga meminjam namanya untuk cerpen
saya “Pohon Kersen” di kumpulan cerita Rahasia Selma, bibi saya yang
lain, telah membuat adik-adik saya jadi pembunuh berdarah dingin di masa
kecil mereka. Mak Sol menyampaikan pada mereka ajaran guru mengajinya
di kampung tentang ciri-ciri binatang kafir dan binatang beriman.
Menurut guru mengaji Mak Sol, cecak itu wajib dibunuh. Pasalnya,
sewaktu Nabi Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar, dikejar orang-orang
Quraish dan terpaksa bersembunyi di sebuah gua, cecak tiba-tiba bersuara
sebagai pertanda adanya manusia di dalam gua tersebut. Padahal
laba-laba terus membuat sarang dan burung merpati tetap bertelur seakan
tak ada manusia yang mengganggu siklus kehidupan mereka.
Kata guru Mak Sol, pembunuhan cecak di bulan Ramadhan akan membuat
pahala sang pembunuh berlipat ganda. Alhasil saya menyaksikan adik-adik
saya membunuh cecak di dinding dan di langit-langit rumah dengan gelang
karet. Nyamuk-nyamuk pun merajalela.
Tentu saja, cecak makhluk yang tak berakal dan perbuatannya tidak
bisa dinilai benar atau salah. Cecak juga tidak beragama, sehingga tidak
bisa digolongkan sebagai kafir.
Namun, kelucuan dalam menafsirkan ajaran Islam ini tidak hanya
berlangsung di sekitar keluarga kami. Belum lama ini Majelis Ulama
Indonesia atau MUI mengeluarkan fatwa mengharamkan kopi luwak.
Alasannya, biji kopi itu dikeluarkan bersama kotoran luwak. Kopi jadi
halal, menurut MUI, bila kopi dicuci sampai kotoran luwak hilang.
Ternyata kisah-kisah ala cecak ini pun masih terjadi di saat saya
dewasa. Maha Suci Allah yang menciptakan bumi, langit dan seluruh
isinya.***
Linda Christanty, Wartawan-cum sastrawan. Buku kumpulan cerita pendeknya “Kuda Terbang Mario Pinto,”
memperoleh
penghargaan Kathulistiwa Literary Award sebagai karya sastra terbaik.
Linda baru saja meluncurkan kumpulan Cerpen terbarunya, “Rahasia Selma.”saya