Amarah

lirik lagu donna-donna ost Gie lengkap dng artinya

Read more 7
 salam medan Juang Kawan-kawan. kali ini aq bebrbahi tahayyul tentang salah satu lagu yang menjadi ost. Gie , entah kenapa dng diriku kenapa bisa aku masukkan, ada kemungkinan aku lg galau atau apalah tapi percayalah kawan-kawan saya baik-baik saja

Silahkan dinikmati....

Donna Donna (OST. Soe Hok Gie)

On a waggon bound for market
there`s a calf with a mournful eye.
High above him there`s a swallow,
winging swiftly through the sky.

How the winds are laughing,
they laugh with all their might.
Laugh and laugh the whole day through,
and half the summer`s night.

Donna, Donna, Donna, Donna
Donna, Donna, Donna, Don.
Donna, Donna, Donna, Donna
Donna, Donna, Donna, Don.

"Stop complaining!“ said the farmer,
Who told you a calf to be ?
Why don`t you have wings to fly with,
like the swallow so proud and free?“


Calves are easily bound and slaughtered,
never knowing the reason why.


But whoever treasures freedom,
like the swallow has learned to fly
like the swallow has learned to fly
 

Di sebuah gerbong yang membatasi pasar
Ada seekor anak sapi dengan mata yang berduka.
Jauh tinggi diatasnya ada seekor burung layang layang,
mengepakkan sayap dengan cepat melintasi angkasa.

Betapa angin angin itu tertawa,
mereka tertawa sekuat mereka.
Tertawa dan tertawa sepanjang hari,
serta separuh malam musim panas.

Donna Donna Donna Donna,
Donna Donna Donna Don,
Donna Donna Donna Donna,
Donna Donna Donna Don.

“Berhentilah mengeluh!”,kata si Petani.
Siapa suruh jadi anak sapi?
Kenapa  kau tak punyai sayap untuk terbang?
Seperti burung layang layang yang sangat bangga dan bebas.
Anak anak sapi mudah diikat dan dibunuh
tanpa tahu alasannya
Tapi siapapun yang mencari kebebasan,
seperti burung layang layang, harus belajar terbang.

Sastra AIDIT

Read more 0
- Hanja Inilah Djalannja
sepatu setengah usang membenam dalam lumpur
menudju teratak,
air menetas dari atap
membasahi kekayaanku jang paling berharga
pengalaman djerman inggris perantjis rusia
tiongkok dan banjak lagi,
hasil pemikiran putera-putera dunia terbaik
temanku njenjak kembali setelah membuka pintu
kesunjian diluar membantuku
makin dalu makin djauh tenggelam,
ingat aku akan sumpah setia pada adjarannja.
kokok ajam djantan tak mengagetkan,
siang dan malam sama sdja,
djalan jang ditundjukkannja selamanja terang
kita pasti akan sampai keudjung djalan ini
dimana tak ada sepatu usang,
dimana tak ada lumpur membenam,
dimana tak ada teratak botjor,
tapi hanya inilah djalannya.

Djakarta, malam, 27 Djanuarti `55


Kini Ia sudah Dewasa
(menjambut ulang tahun ke-35 PKI)
23 Mei 1955

35 tahun jang lalu
Ia lahir
dengan kesakitan
Klas termadju,
Sebagai anak zaman
Jang akan melahirkan zaman.

Ia tahan taufan
dan tak lena karena sepoi
ia menjusup dihati Rakjat
lebih dalam dari laut Banda
Ia menghias hidup
lebih indah dari sunting tjempaka.

Ia dihidupkan oleh hidup,
tahan teror dan provokasi
dulu, sekarang dan nanti
Ia Antaeus, anak Poseidon
tak terkalahkan selama setia pada bumi
Ia anak zaman jang melahirkan zaman
Kini ia telah dewasa.


Tembok Granit
(kepada “Dewan2Partikelir” Dalam Munas)

Dengan ugjung bajonet itu
kau naikkan sikepala batu
duduk bersama Rakjat dan aku
Kau harap dapat menghambat
sedjarah jang djalannya tjepat
tak tahu kaulah yang kan kiamat;

Kau mau ulangi tjerita usang
tentang Negro empatlapan
tentang Magelang dan Ngalian
tau lupa Amir dan Hadji Bakri
lupa para petani bagi2 tanah
di Wonogiri dan Bojolali

Derap sepatu sedjarah
akan indjak2 sikepalabatu
dan bajonet itu akan patah
Tembok granit lebih keras
dari tembok batu
tembok granit Rakjat bersatu

Djakarta, 15 September 1957

Jang Mati Hidup Abadi

Lama nian aku tak menangis
tidak karena mata sudah mengerting
atau hati membeku dingin
tapi kali ini, dengan tak sedar
hati kepala penuh taktertahan
butir2 air mata membasahi koran pagi
Orang hitam berhati putih itu
dibunuh siputih berhati hitam!

Tapi, bukankah pembunuh terbunuh?
Lumumba sendiri hidup se-lama2nya
Lumumba mati hidup abadi
Kini dunia tidak untuk siputih jang hitam
tapi untuk semua
putih, kungin, sawomatang, hitam …….
Kini udara penuh Lumumba
karena Lumumba berarti merdeka.

Djakarta, 14 – 2 – 61

Radja Naik Mahkota Ketjil

Udara pagi ini tjerah benar
pemuda njanji nasakom bersatu
gelak ketawa gadis remadja
mendengar silalim naik tachta,
tapi konon mahkotanja ketjil.

Buruh dipabrik tani diladang
ibuibu menjusui anak
tibatiba nafas terlepas lega
mendengar siradja naik tachta,
tapi konon mahkotanja ketjil.

Ini pertanda zaman kita
jang lapuk terpaksa turun
jang baru terus membaru
bagi jang lama sudah magrib
baik jang baru mentari naik.

Ajo, madju terus kawan-kawan
halau dia kedjaring dan djerat
tangkap dia dan ikat erat
hadapkan dia kemahkamah Rakjat!

Djakarta, 23 Djuni 1962.

Kidung Dobrak Salahurus

Kau datang dari djauh adik
dari daerah bandjir dan lapar
dengan hati lebih keras dari bentjana
selamat datang dalam barisan kita

Dikala kidung itu kau tembangkan
bertambah indah tanah Priangan
sesubur seindah Priangan manis
itulah kini Partai Komunis

Tarik, tarik lebih tinggi suaramu
biar tukang-tukang salahurus tahu
bentji Rakjat dibawa mati
tjinta Rakjat pada PKI

Teruskan, teruskan tembangmu
bikin rakyat bersatu-padu
bikin Priangan madju dan djaja
alam indah Rakjat bahagia.

Tjipanas, 16 Djanuari 1983

Hati Dibakar Tjinta

Hati membara dibakar tjinta
hangat segar marak bernjala
langkah indah tjinta dan tjita
bagaikan bunga dikarang indah

Biarkan, biarkan ia membara
membakar dan bernjala
menghangatkan semua derita
menghangatkan setia mesra

Adakah hidup lebih bahagia
dari hati dibakar tjinta
padamu kasih padamu tjita
bagimu kasih tjintaku mesra

Adakah hati lebih gembira
dari hangat dibakar tjinta
padamu kasih padamu tjita
bagimu Partaiku djaja!

Djakarta, 2 Djuli 1963

Sekilas Tentang Saya

Read more 0
Selayang Pandang tentang saya

Kalimat yang paling pas ku tulis dilaman ini adalah Terimah kasih yang tak terhingga atas kesedianya bertamu didalam blog ini yang masih acak-acakan karena masih dalam kategori pemula, tapi kita akan upayakan semaksimal mungkin untuk mempertampan Blog inie sehingga kelihatan rapi,enak dipandang. ya... intinya tampanlah blog inie heheh....

sebuah kamar sempit yang berukuran 3 x 3 ada lemari  dengan lebar 1,5 cm dan tinggi 2,5 cm yg memperpuruk keadaan dan lampu pijar 5 wath menghiasi ruang kamarku dan meja Lektop Asus 1215P ini yang selalu siap setiap saat dibutuhkan, disanah Blog ini tercipta
yang tepatnya di dusun Rappoang Desa Batetangnga tepatnya dijalan poros permandian Biru, meskipun jaringan di kamarku yg acak-acakan/tidak terlalu support tp berkat usaha perjuangan yg tdk mengenal kata tidak untuk menyerah sehingga blog ini bisa tercipta dan dapat anda rasakan meskipun perasaan itu kurang enak dipandang mata.hehehhe
Blog ini lahir dari sebuah usaha keras yang tentunya punya sejarah tersendiri dalam setiap detik-detik perkembangannya. blog ini hanyalah sebuah usaha sadar penulis dan kepolosannya yang sekedar untuk shering imformasi seputar perkembangan yang ada baik itu berupa Dunia Pendidikan seputar fotret buram yang sedikit menggambarkan tentang kondisi dan aktifitas keseharian Pendidikan Kita, seputar organisasi yang dianut oleh kami juga akan menyediakan aktifitas  dalam setiap langkahnya yang dapat juga kita dapatkan diblog inie secara Cuma-cuma. Ideologi yang telah mengediakan berbagai menu seputar kondisi kekinian baik yang seputar wacana, berita dan opini baik seputar dalam negeri maupun diluar negeri.

Aku dilahirkan disebuah kampung yang jauh dari kota Polewali yang sekitar 10 Kilo dusun Rappoang yang terletak diSebuah Desa dengan jumlah penduduk 5.766 jiwa. Tahun telah berganti dan maka umur 9 tahun aku masuk disebuah Sekolah SDN 012 Kanang dan masuk Dipesantren MTS 3 tahun kemudian menyambung di MA dikanang dan kemudian melanjutkan study-nya diUnasman salah satu Universitas dipolewali mandar sulawesi barat yaitu UNASMAN (Universitas Al-Asyariah Mandar)

Dan Skarang blum Tau akan kemanah dan akan menjadi apa hehehe ,, tapi sudah lah yang jelasnya perkenalanku ini sudah bisa membuka sedikit pengertian tentang saya

itu dulu dari ku salam Pendidikan

 

saya dan islam (cerpen)

Read more 0
LELAKI itu terkesima ketika mengetahui saya seorang muslim. Ia bergabung dengan klub koresponden asing di Hong Kong, seorang Inggris yang saya lupa namanya dan hadir dalam diskusi saya tentang Islam dan dunia modern. Ia kemudian bertanya apa nama keluarga ayah saya dan ketika saya menjawab, “Abdul Malik,” ia berkata, “Ooh…” seraya menunjukkan ekspresi lebih takjub lagi.
Nama saya sering menimbulkan salah paham di kalangan orang-orang yang menganggap seorang muslim biasanya bernama Arab.

Sebagian orang lupa bahwa penyebaran Islam telah melampaui jazirah ia dilahirkan dan penghuni wilayah atau negeri barunya bukan lagi orang-orang Arab. Meski saya juga tidak protes ketika adik perempuan saya menamai putra pertamanya Muhammad Faturrahman, atau adik laki-laki saya menamai putra bungsunya Muhammad Habiburrasul.
Banyak pula yang menyangka saya beragama Katolik atau Protestan gara-gara unsur “Christ” dalam nama saya, yang kelak mereka hubungkan dengan Yesus Kristus, sang juru selamat dari Nazareth itu, atau umat Islam menyebutnya Isa Almasih, nabi dan rasul sebelum Muhammad. Secara fisik, saya bahkan lebih mirip orang-orang Cina di Hong Kong atau orang Jepang ketimbang orang-orang Arab, yang beberapa nama mereka memang tercantum dalam silsilah keluarga kami.
Nama dan wujud saya terkadang memicu kejadian lucu.
Ketika belajar di sekolah menengah atas di Bandung, saya memilih mata pelajaran agama Islam, lebih karena semua teman saya yang beragama Islam juga memilih mata pelajaran ini. Tapi saya tidak pernah mendapat giliran membaca Alquran. Tiap kali giliran saya tiba, guru kami langsung menunjuk murid yang lain untuk membacanya. Guru agama kami, perempuan paruh baya yang selalu menutup kepalanya dengan selendang dan mengenakan baju kurung itu, mungkin menganggap saya mualaf, baru masuk Islam, sehingga ia memilih tak menyiksa saya untuk melafal kalimat dalam bahasa yang tak pernah kami pakai sehari-hari itu. Tapi bagaimanapun ia harus memberi nilai untuk mata pelajaran agama di buku raport saya, sehingga ia perlu tahu sejauh mana kemampuan saya. Setelah ia mengetahui Islam adalah agama saya, ia malah bingung dan berkata, “Tapi kenapa nama kamu Christanty?”
Sumber masalahnya ada pada ayah saya yang mengagumi petenis kelas dunia Chris Evert. Tambahan “Tanty” itu memang hanya sebagai penyedap nama. Nah, nama depan saya dipungut ayah dari nama putri presiden Amerika Lyndon B Johnson, yang menurutnya cerdas dan patut dikagumi. Namun, setahu saya merek mesin jahit di rumah kami juga “Linda”.
Ketika saya masih kanak-kanak, saya memahami Islam sebagai kekuatan untuk melawan sihir. Ayat-ayat Alquran dipercaya mampu mengusir ruh-ruh jahat.
Bibi saya, sepupu ibu saya, putri tunggal kakak nenek saya, yang biasa kami panggil “Mak Unggal” sering kesurupan. Ayat-ayat Alquran terdengar lebih banyak di telinganya karena kebutuhan khusus itu.
Mak Unggal bukan lagi Mak Unggal yang kami kenal tiap kali ia kesurupan. Ia akan tertawa-tawa, marah-marah dan suara Mak Unggal yang kami kenal berubah jadi suara nenek tua yang menakutkan.
Saya sangat menyukai Mak Unggal, karena ia pintar masak, terutama empek-empek, yaitu penganan dari adonan daging ikan dan sagu yang digoreng atau direbus. Selain itu, ia ramah dan gemar bercerita tentang apa saja.
Suatu hari Minggu saya mendesak ibu dan ayah saya untuk berkunjung ke rumah Mak Unggal, yang berjarak dua jam perjalanan bermobil dari kota kami. Ayah menyetir, ibu duduk di sebelahnya, sedang saya dan adik-adik bertumpuk di jok belakang dengan membayangkan empek-empek bikinan Mak Unggal. Sepanjang jalan saya dan adik-adik saya menyanyi riang, mengikuti lagu-lagu pop berbahasa Inggris yang diputar ayah, antara lain lagu Bobby Vinton. I love how you love me, whenever you kiss me, I love the way you always treats me tenderly….yuuu… lyyyyyyy… lop, lop miiiiiiiii….
Oh, ya, sebelum menghidupkan mesin mobil, ayah akan berdoa selama kurang lebih 15 menit. Ia membaca bermacam surat. Kata ayah, doa-doa itu untuk membuat perjalanan kami lancar dan dilindungi Allah.
Begitu kami sampai di halaman rumah Mak Unggal, orang-orang tampak ramai keluar-masuk rumah. Saya buru-buru menerobos ke dalam, karena rasa ingin tahu.
Mak Unggal terbaring di ruang tengah, menceracau dan sesekali membentak-bentak. Ia kesurupan lagi. Pak Unggal, suami Mak Unggal, duduk di sisi istrinya dan komat-kamit membaca ayat-ayat Alquran. Saya kecewa, karena Mak Unggal tidak akan masak empek-empek hari itu.
Ketika Mak Unggal mulai berteriak-teriak diselingi tawa kerasnya, saya dan adik-adik saya langsung kocar-kacir masuk ke salah satu kamar dan bersembunyi di bawah ranjang besi. Kami semua terbatuk-batuk, karena ternyata kolong ranjang itu tidak pernah disapu dan banyak sekali debu.
Pak Unggal dan orang-orang di sekeliling Mak Unggal hanya terperangah ketika Mak Unggal tiba-tiba bangun dan berlari ke arah pohon jambu di halaman. Gerakan Mak Unggal begitu gesit. Semua orang panik, sedang Mak Unggal secepat kilat memanjat pohon itu dan bertengger di dahan tertinggi. Orang-orang lantas menghambur ke bawah pohon jambu dan berteriak-teriak menyuruhnya turun, tapi ia tak peduli. Akhirnya tetangga Mak Unggal memanggil ustadz yang cukup terkenal untuk mengusir ruh nenek tua dari tubuh Mak Unggal kami yang tercinta. Nama ustadz tersebut Abang Suhaili bin Abang Aziz, yang tak lain dari adik ipar ayah saya. Su Abot, begitu kami biasa memanggilnya, adalah imam masjid di kampungnya. Su Abot langsung komat-kamit membaca doa-doa. Berjam-jam kemudian Mak Unggal mulai lelah dan orang-orang pun sibuk menurunkannya dari pohon jambu.
Namun, Mak Unggal masih sering kesurupan sampai kini. Usianya hampir 70 tahun. Bila ia tiba-tiba menghilang dari rumah, anak dan cucunya akan memeriksa pohon-pohon di halaman atau kebun tetangga. Mak Unggal pasti ada di situ. Ibarat pesawat terbang, bandara Mak Unggal ada di pohon. Ia sanggup memanjat secepat monyet, tapi celakanya tidak bisa turun sendiri. Anak atau cucunya akan membantu Mak Unggal kembali menginjak bumi.
Indira atau Tata, adik saya, pernah mengidap sakit aneh waktu kecil. Kakinya bersisik seperti ikan Garapu. Orangtua kami membawanya ke dokter berkali-kali, tapi sakitnya tak kunjung hilang, malah makin menjadi. Sopir ayah saya, Mang Tan, berinisiatif mengobati Tata. Menurut Mang Tan, Tata terkena basak ular nasi, penyakit yang disebabkan kibasan ular nasi yang kebetulan melintas di depannya atau persentuhannya dengan jejak ular itu di tanah.
Mang Tan membacakan ayat tertentu dalam Alquran dan dicampur pula dengan mantera. Tata sembuh seketika.
Mang Tan bertubuh tinggi besar. Kulitnya hitam berbulu. Sepasang matanya selalu merah. Tapi tutur katanya sopan dan lemah-lembut. Mang Tan memiliki beberapa istri, yang di rumah kami kebiasaan lelaki beristri banyak ini dianggap hal tak terpuji. Istri terakhir Mang Tan adalah cucu raja siluman buaya, Akek Rukam. Menjelang ajalnya, Akek Rukam yang berwujud manusia masuk ke sungai dan berubah jadi buaya selamanya.
Mang Tan yang sakti tiada berkutik di depan istrinya. Ia pernah dilempar keluar jendela rumah mereka oleh sang istri saat mereka bertengkar. Putri pertama Mang Tan dengan istrinya yang ganas ini dinamai Cahaya Neraka.
Sejak kecil saya dan adik-adik harus belajar mengaji. Orangtua kami mendatangkan guru mengaji ke rumah. Saya tidak suka belajar mengaji, karena guru mengaji kami tak mampu menjelaskan isi ayat-ayat Alquran itu. Akhirnya ibu saya yang mengajari saya membaca Alquran, tapi jawaban ibu juga tak memuaskan ketika ditanya.
Ayah saya secara bergurau pernah hendak menambahkan nama “Siti” di muka nama saya, karena ada yang memberitahunya bahwa sikap membangkang dan keras kepala itu bersumber pada nama saya yang tak Islami atau tepatnya tak berbau Arab sama sekali. Tentu saja, saya menolak. Saya sudah merasa nyaman dan keren dengan nama ini. Yuk Mimi, tetangga kami yang anaknya sakit-sakitan juga diminta seorang ustadz untuk mengubah nama anaknya dari Dezky jadi Safruddin. Kata si ustadz, anak Yuk Mimi keberatan nama. Entah apa maksudnya. Tapi Dezky yang kelak jadi Safruddin itu tetap saja sakit-sakitan.
Kakek saya dari sebelah ibu tergolong taat beragama. Dulu ia mempunyai banyak sekali azimat warisan keluarga. Ketika ibu menikah dengan ayah, kakek memberi semua azimat tersebut pada ayah saya. Berat keseluruhan barang-barang bertuah itu sekitar tiga kilogram. Ayah saya hanya memakai satu saja pemberian kakek, yaitu cincin bermata jingga warisan keluarga kakek secara turun-temurun. Cincin itu dipakai ayah sampai ia meninggal dunia dua tahun lalu. Sebagian azimat kakek dibuang ayah ke sungai, sebagian lagi dibuang ke laut. Kakek tidak marah, karena ia sendiri tidak memakai lagi semua azimat tadi. Kakek kelak ikut Muhammadiyah, sekte kaum Wahabi di Indonesia. Namun, ia sama sekali tidak mendukung negara Islam, meski ia juga memprotes pemerintah Orde Baru sepanjang hidupnya. Kakek memilih Muhammadiyah, karena aliran ini melarang orang menyelenggarakan acara doa dan makan minum untuk orang yang sudah meninggal dunia. Biaya acara tersebut kadang memberatkan orang yang masih hidup. Keluarga orang yang berduka itu harus menanggung dua beban sekaligus: ekonomi dan kesedihan. Kakek menentang adat-istiadat yang menyulitkan hidup manusia.
Ajaran Muhammadiyah antara lain menolak bid’ah dan kemusyrikan. Bid’ah adalah praktik yang melebih-lebihkan ibadah, sedang musyrik merupakan tindak pemujaan terhadap selain Allah.
Namun, mereka banyak melakukan ketidakkonsistenan dalam beragama. Orang-orang Muhammadiyah di Yogyakarta, misalnya membiarkan para sultan yang beragama Islam dan tetangga mereka di Kauman itu memuja Nyai Roro Kidul, yang juga dianggap sebagai istri gaib seluruh sultan Yogya. Mereka menentang orang berziarah kubur di Pagaruyung atau orang Dayak menyembah batang kayu, tapi sama sekali tidak menentang praktik kemusyrikan yang dilakukan di depan mata mereka sendiri.
Double standard policy jadi bagian dari politik kepentingan, juga teknik bertahan hidup.
Agama itu ibarat pakaian. Orang berhak memilih pakaian yang sesuai untuknya. Sebab manusia pun difitrahkan berbeda sejak lahir, berbeda jenis kelamin, berbeda budaya, berbeda suku dan bangsa. Jadi penaklukan dunia yang mengatasnamakan satu agama sama sekali melanggar fitrah tersebut.
Kakek saya tak pernah meninggalkan shalat lima waktu dan tiap hari Jumat ia selalu pergi ke masjid. Entah kenapa tiap kali mendengar orang menyebut “hari Jumat” saya seolah mencium parfum kakek, sampai hari ini. Jangan kalian bayangkan parfum kakek saya bermerek Salvatore Ferragamo atau Hermes. Parfumnya dibeli di pasar dekat rumah.
Di hari Jumat kakek selalu memakai parfum andalannya itu, mengenakan kemeja, kain sarung dan jas! Saya tidak pernah melihat kakek memakai sorban atau memanjangkan jenggotnya seperti orang-orang Arab.
Tapi sebagian besar orang lupa bahwa Islam sebagai agama dan budaya Arab tempat agama tersebut lahir adalah dua hal yang berbeda. Islam adalah agama untuk siapa saja yang percaya, sedangkan busana, kesusastraan, gastronomi dan musik Arab adalah budaya suatu bangsa yang tak serta-merta berkaitan dengan ajaran Islam itu sendiri.
Setelah waktu-waktu shalat, rumah kami selalu dipenuhi suara merdu orang mengaji Alquran. Kakek, ayah dan ibu saya mengaji setiap hari, kecuali nenek yang rabun dan tidak sanggup melihat huruf-huruf lagi.
Sebelum kakek meninggal dunia, ia berpesan agar saya menyayangi ibu dan ayah serta jangan berkata kasar pada orangtua. Berkali-kali ia menunjukkan ayat tentang sikap anak terhadap orangtua. Ia juga berkata agar selalu berbuat baik pada sesama tanpa memandang agama dan bangsa, karena perbuatan jahat maupun baik akan dibalas di dunia ini, sedang surga dan neraka adalah rahasia Allah.
Islam jadi menakutkan ketika suatu hari saya menemukan selebaran tentang hari kiamat.
Saya masih di kelas lima sekolah dasar waktu itu. Selebaran tersebut tiba-tiba berserak di halaman sekolah. Murid-murid yang lain juga memungut dan membacanya.
Selebaran itu mengutip kisah juru kunci makam Nabi Muhammad, yang menyatakan bahwa barangsiapa melihat benda menyerupai sebutir telur besar di langit, itulah pertanda kiamat segera tiba.
Saya benar-benar panik. Setiba di rumah, saya memperlihatkan selebaran itu pada ibu saya, yang menenangkan saya dan berkata, “Jangan mempercayai isi selebaran seperti ini. Hanya Allah yang Maha Mengetahui.”
Rupanya hal itu merupakan ulah orang-orang yang mencari nafkah dari agama. Tidak berapa lama, beberapa lelaki tampak menjual buku-buku agama dari rumah ke rumah. Banyak orang yang kemudian menyebut diri mereka sendiri sebagai ustadz serta-merta menyelenggarakan pengajian dan menghimpun orang untuk bersedekah, mengelola acara menangis bersama, menghimpun orang-orang yang putus asa dan kesepian ini dalam kasih Ilahi.
“Semakin banyak orang yang mencari makan dari agama, maka penyimpangan dari ajaran Islam akan terus terjadi,” kata adik saya, Budhi.
Di Aceh, lembaga bernama wilayatul hisbah atau polisi syariat berdiri setelah tsunami dan menjadi lapangan pekerjaan baru. Inti dari fundamentalisme agama justru tidak berhubungan dengan agama itu sendiri, melainkan kepentingan ekonomi dan politik pihak tertentu atau sekian banyak pihak.
Islam di Aceh, misalnya, kini terkesan sebagai monster, bukan agama penyejuk jiwa. Para pendukungnya seakan bisa melakukan apa saja termasuk tindak kekerasan terhadap siapa pun yang berseberangan pemahamannya dengan mereka tentang Islam. Namun Irwandi Yusuf, gubernur Aceh yang mantan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu, menolak menandatangani qanun jinayat yang mensahkan praktik hukum rajam di Aceh. Usut punya usut, syariat Islam di Aceh ini ternyata tidak termasuk dalam tuntutan perjuangan GAM. Ia telah diupayakan penerapannya di masa Darurat Militer di Aceh, ketika parlemen Aceh masih dikuasai para legislator dari partai-partai Islam nasional yang berbasis di Jakarta. Orang Aceh menyebut syariat Islam di Aceh sebagai “bikinan Jakarta”. Tentu saja, tidak seperti kue yang biasa Anda makan, yang para pembuat, proses pembuatannya atau toko yang menjualnya bisa diketahui dengan mudah, Anda harus mengurai begitu banyak cerita, simpangan, dan dialektikanya ketika bicara soal kue istimewa yang satu ini.
Seorang keponakan ayah saya tiba-tiba jadi pemimpin tarekat dan hal itu mengejutkan keluarga kami. Bang Aton sama sekali bukan orang yang religius sebelumnya. Kini ia punya perkumpulan tarekat dan sejumlah pengikut fanatik di Pangkalpinang, Pulau Bangka.
Barangsiapa yang jadi pengikut tarekat ini bisa bertemu ruh-ruh para nabi dan berdialog dengan mereka, tentu dengan Bang Aton sebagai perantara. Namun, latihan kebatinan ini sama sekali tidak mempengaruhi hubungan sosialnya dengan manusia lain di luar perkumpulan tarekatnya dan juga tidak mengganggu ketertiban masyarakat. Ia juga tetap menyambut tangan saya ketika bersalaman, tidak seperti satu dua lelaki berjenggot atau yang tidak berjenggot yang menganggap bersalaman itu sebagai pintu maksiat dan menganggap kafir orang yang tidak segaris dengan mereka. Ia juga tidak pernah menyatakan Islam yang dipraktikkannya adalah yang paling benar, lalu menyatakan halal darah mereka yang berbeda pandangan. Jadi saya tidak mempersoalkannya. Ia sama sekali tidak bergabung dengan Front Pembela Islam atau FPI.
Di malam tertentu Bang Aton dan pengikutnya akan masuk ke dalam satu ruangan dan mematikan semua lampu atau bergelap-gelapan agar bisa bercakap dengan ruh Nabi Muhammad secara batin.
Interpretasi terhadap ajaran Islam rupanya bukan milik sekelompok orang atau para ulama saja, setidaknya itu yang terjadi dalam ruang lingkup keluarga kami. Mak Sol, saya juga meminjam namanya untuk cerpen saya “Pohon Kersen” di kumpulan cerita Rahasia Selma, bibi saya yang lain, telah membuat adik-adik saya jadi pembunuh berdarah dingin di masa kecil mereka. Mak Sol menyampaikan pada mereka ajaran guru mengajinya di kampung tentang ciri-ciri binatang kafir dan binatang beriman.
Menurut guru mengaji Mak Sol, cecak itu wajib dibunuh. Pasalnya, sewaktu Nabi Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar, dikejar orang-orang Quraish dan terpaksa bersembunyi di sebuah gua, cecak tiba-tiba bersuara sebagai pertanda adanya manusia di dalam gua tersebut. Padahal laba-laba terus membuat sarang dan burung merpati tetap bertelur seakan tak ada manusia yang mengganggu siklus kehidupan mereka.
Kata guru Mak Sol, pembunuhan cecak di bulan Ramadhan akan membuat pahala sang pembunuh berlipat ganda. Alhasil saya menyaksikan adik-adik saya membunuh cecak di dinding dan di langit-langit rumah dengan gelang karet. Nyamuk-nyamuk pun merajalela.
Tentu saja, cecak makhluk yang tak berakal dan perbuatannya tidak bisa dinilai benar atau salah. Cecak juga tidak beragama, sehingga tidak bisa digolongkan sebagai kafir.
Namun, kelucuan dalam menafsirkan ajaran Islam ini tidak hanya berlangsung di sekitar keluarga kami. Belum lama ini Majelis Ulama Indonesia atau MUI mengeluarkan fatwa mengharamkan kopi luwak. Alasannya, biji kopi itu dikeluarkan bersama kotoran luwak. Kopi jadi halal, menurut MUI, bila kopi dicuci sampai kotoran luwak hilang. Ternyata kisah-kisah ala cecak ini pun masih terjadi di saat saya dewasa. Maha Suci Allah yang menciptakan bumi, langit dan seluruh isinya.***
Linda ChristantyWartawan-cum sastrawan. Buku kumpulan cerita pendeknya “Kuda Terbang Mario Pinto,” memperoleh penghargaan Kathulistiwa Literary Award sebagai karya sastra terbaik. Linda baru saja meluncurkan kumpulan Cerpen terbarunya, “Rahasia Selma.”saya 

Kenapa Oligarki Ingin Mengakhiri Pilkada Langsung?

Read more 0
PEMILU presiden (pilpres) 2014 belum lama berselang, tapi rakyat sudah diberi ‘hadiah’ buruk oleh para elit politik di tingkat nasional. Di ujung kekuasaan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pihak DPR dan pemerintah bergegas menyelesaikan UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Mereka ingin mengubah pemilihan kepala daerah yang selama satu dekade dipilih secara langsung oleh rakyat, menjadi dipilih oleh DPRD. Sebelum itu, tepat di tengah masa pertarungan pilpres, para anggota DPR dari kubu politik anti Jokowi meloloskan UU MD3, yang berisikan kuasa untuk mempersulit penindakan hukum pada
anggota parlemen yang melakukan tindakan kriminal, termasuk tindak pidana korupsi.
Pemerintah SBY, melalui Kementerian Dalam Negeri, sejak mengajukan usulan RUU Pilkada pada tahun 2012, menghendaki hanya bupati dan walikota saja dipilih melalui pemilihan langsung. Gubernur dipilih oleh anggota DPRD provinsi. Alasan yang menopang usulan ini agar biayanya bisa lebih murah dibanding pemilihan langsung dan mencegah praktek politik uang. Sebelum berakhirnya pilpres 2014, hanya Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PPP yang setuju dengan usul pemerintah tersebut. Kini, setelah Pilpres situasi politik telah berubah. Hanya fraksi dari partai pendukung koalisi Jokowi yang memilih mempertahankan pillkada secara langsung. Propaganda menghapuskan pemilukada, tidak hanya berhenti pada pemilihan Gubernur, tapi juga bupati/walikota. Lagi-lagi dengan alasan memperjuangkan politik berbiaya murah.
Perkembangan terbaru ini segera memicu reaksi pro-kontra di antara politisi. Banyak kepala daerah yang menolak rencana ini. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), wakil gubernur DKI yang akan menggantikan Jokowi sebagai gubernur, mundur dari partai Gerindra sebagai bentuk penolakannya. Ridwan Kamil, bersama bebarapa bupati dan walikota lainnya, melakukan unjuk rasa penolakan. Asosiasi kepala daerah (Apeksi dan Apkasi) pun menyatakan menolak penghapusan pilkada langsung. Partai-partai pengusung kebijakan ini menyatakan akan memberikan sanksi kepada kadernya yang menolak penghapusan pilkada langsung. Koalisi masyarakat sipil juga melakukan protes dan menggelar unjuk rasa, sebagai perlawanan atas apa yang mereka lihat sebagai upaya memundurkan hak politik dan demokrasi rakyat.

Mengurut konteks
Semua hal ada sejarah dan konteksnya. Mengacuhkannya begitu saja bisa membuat kita gagal menganalisis peristiwa politik saat ini. Bila kita urut mundur dari perkembangan terkini, maka konteks yang jelas menentukan adalah upaya pengepungan terhadap pemerintahan Jokowi kelak oleh koalisi ‘oligarki merah putih’ yang menguasai parlemen. Trend karir politik Jokowi hingga berhasil mencapai posisi Presiden, adalah sesuatu yang di luar skenario kaum oligarki yang menguasai semua partai politik parlementer selama 16 tahun ini. Partai oligarki selama ini fasih memainkan strategi kekuasaannya sebagai hasil dari warisan politik massa mengambang, yang meniadakan partai berbasis massa yang disiplin dan ideologis. Sementara kekuasaan di panggung demokrasi dalam era reformasi ini haruslah melalui kanal dan mandat partai politik. Untuk menyiasati perubahan politik ini, partai oligarki dengan licik dan teliti melakukan praktek politik uang secara sistematis, massif dan terstruktur. Mereka tidak khawatir menjual akses ke kursi kekuasaan selama masih dalam langgam bermain yang mereka kontrol dan dikte dengan efektif.
Hasilnya, ajang pilkada tidak banyak memberi peluang perubahan buat rakyat dan juga menjadi sangat mahal. Tujuannya jelas, untuk mencegah kemungkinan adanya alternatif di luar cara berpolitik oligarki. Akibat lanjutannya, mayoritas rakyat menjadi skeptis dengan pilkada yang ditunjukkan dengan tingginya angka golput dalam rata-rata pilkada yang ada. Hingga akhirnya, ada beberapa pengalaman pilkada yang menghasilkan kepala daerah dengan profil dan cara berpolitik yang di luar keseragaman politisi oligarki. Sejumlah kecil pejabat ini jadi sangat menonjol, karena dalam berbagai kebijakannya bertubrukan cukup keras dengan bisnis politik para oligarki secara reguler. Misalnya, politik rente dan kolusi dengan pihak pemodal besar dapat terganggu akibat ketidakcocokan yang tak diduga-duga oleh partai oligarki tersebut. Operasi standard, seperti penggusuran rakyat miskin, pembangunan jalan tol dalam kota, penjarahan bantuan sosial, dan banyak lagi jadi tak semulus biasanya. Mulai dirasakan pentingnya konsolidasi ulang/baru di tingkat politik lokal di antara kubu yang pro dan kontra dengan kelanjutan ruang yang disediakan desentralisasi pilkada langsung
Sejarahnya, momen pilkada langsung berkaitan dengan kegagalan politik sentralistik dan otoriter di masa Orde Baru (Orba). Gagal di mata rakyat yang menginginkan demokrasi, juga gagal mengatasi krisis yang menggulingkan Soeharto. Negara sentralistis korporatis Orba yang tertata rapi seperti perusahaan dengan kepatuhan mutlak pada pimpinan, terbukti mengabaikan hak demokratis rakyat. Rakyat dipaksa hidup dalam proyek dan imajinasi yang dianggap patut oleh pimpinan di tingkat pusat (sentral). Pertentangan yang terjadi akibat perbedaan kepentingan rakyat dengan penguasa akan diganjar dengan hukuman dan tekanan. Itulah sebabnya di masa Orba, politik buat kaum penguasa itu murah, karena tidak ada ongkos untuk mendapatkan legitimasi dari rakyat. Harga yang dikeluarkan hanyalah untuk mempertahankan sistem kepatuhan itu berlanjut dan berdaur ulang. Kekuasaan aparat kekerasan diterapkan secara teritorial agar bila ada potensi ancaman, gangguan, halangan, dan tantangan dapat secara cepat ditangani. Seola-olah itu hanyalah masalah teknis, seperti yang dialami oleh mesin dalam operasi perusahaan.
Apa arti dan konsekwensi rencana penghapusan pilkada langsung terhadap kehidupan politik yang membentang buat seluruh rakyat ini? Politik tentu tidak hanya berdampak pada para politisi yang mewakili (merepresentasikan) rakyat yang tidak bisa hadir di kursi kekuasaan formal. Jelas, wacana yang dipilih para pendukung penghapusan pilkada langsung adalah mencoba menyatakan dirinya di posisi rakyat yang dirugikan oleh politik yang mahal setiap kali pilkada berlangsung. Tapi, tentu rakyat tidaklah senaif yang disangka para politisi sarat retorika atas nama rakyat ini. Walau, harus diakui bahwa rakyat tidak selalu mampu menghadirkan kepentingan dan perlawanannya seberdaya dan seterorganisir para politisi yang terlatih dalam jaringan oligarki. Tapi, yang jelas manuver penghapusan pilkada langsung adalah perangai politisi yang menganggap rakyat bodoh, buta politik, dan tak boleh berdaya secara politik.
Pertarungan siapa?
Bila boleh disederhanakan, tulisan ini mencoba mendaftar beberapa sebab penting yang menjadi konteks didorongnya wacana dan aturan membatasi pilkada langsung:
  1. Semakin banyaknya biaya yang ditanggung oleh para oligarki. Biaya untuk berpolitik datang dari korupsi dan politik rente lainnya. Kompetisi politik mengakibatkan jatuhnya banyak korban di antara para oligarki yang tertangkap sebagai koruptor.
  2. Meningkatnya trend agensi popular yang meningkat di berbagai sektor masyarakat pada beberapa tahun terakhir dari era SBY. Misalnya, gerakan mendorong jaminan sosial di tingkat lokal, asuransi sosial oleh para buruh, gerakan anti korupsi di tingkat lokal, dll.
  3. Berimplikasi sedikit banyak pada kepentingan ekonomi para oligarki yang terlibat dalam bisnis, industri, dan perdagangan. Antara kepentingan oligarki di tingkat nasional, tidak selalu sebangun dengan kepentingan di tingkat lokal.
Di awal tulisan ini sepintas ditunjukkan bahwa rencana penghapusan pilkada langsung ini adalah tarik menarik kepentingan antara kubu Jokowi yang baru saja memenangkan pilpres 2014, dengan koalisi oligarki ‘merah putih’. Bila kita memperluas bingkai analisis dalam kaitannya dengan dinamika politik selama 15 tahun kehadiran desentralisasi di era reformasi, maka soal perkubuan tentu bukan melulu pengelompokkan mereka yang berkontestasi di momen pilpes yang lalu. Beberapa ahli (Hadiz 2010, Lane 2014) yang meneliti secara kritis desentralisasi, menggambarkan adanya perkembangan oligarki dan koalisi sosial yang menguntungkan elit di tingkat lokal. Oligarki di tingkat nasional tetap beririsan, memiliki kaitan dan berjejaring dengan perkembangan kekuatan oligarki lokal ini, akan tetapi dalam banyak aspek mulai kehilangan kendali dan pengaruh langsungnya. Salah satu yang paling terpengaruh adalah kendali berdasarkan kekerasan, seperti yang dulu fasih dijalankan oleh komando teritorial dan intervensi militer dalam kehidupan politik.
Max Lane menyimpulkan desentralisasi mengakibatkan absennya (tidak adanya) ‘agensi politik nasional berbasis kelas yang dapat mengukuhkan agenda politik mereka berhadapan dengan berlimpahnya kapitalis kecil-menengah yang beroperasi di tingkat lokal’ (2014, 121). Sementara Vedi Hadiz (2010) telah mengingatkan adanya kecenderungan untuk melakukan re-sentralisasi sebagai respon terhadap perkembangan desentralisasi yang merugikan kubu-kubu oligarki tertentu, yang lebih memiliki kepentingan berskala nasional. Kecenderungan ini, melalui perbandingan pengalaman politik, juga terjadi di berbagai negara lain di Asia Tenggara dan Eropa Timur, yang juga menjalani ‘transisi demokrasi dan desentralisasi.’ Kedua pengamatan ini harus menjadi perhatian serius, untuk tidak melihat polemik pilkada langsung semata-mata dari perspektif normatif tentang hak politik rakyat ataupun dari pendekatan teknokratik yang mengabaikan perkembangan pertarungan dari dinamika kelompok-kelompok sosial yang berelasi dengan para elit atau oligarki yang hendak dikekang oleh doktrin ‘good governance’ (tata kelola pemerintahan yang baik), yang secara naif kadung ditelan bulat-bulat oleh masyarakat sipil selama ini.
Karena itu, momen in sangat tepat untuk mendorong transformasi yang radikal dan signifikan dari evolusi desentralisasi salama ini. Mereka yang posisinya lemah dalam pertarungan yang ada, memang seperti terpinggirkan dalam kerangka analisa oligarki (Aspinall 2013b). Aspinall mengamati fenomena ‘agensi popular,’ (2013a) berbagai kelompok gerakan yang (banyak di antaranya) berhasil memenangkan kebijakan sosial, yang sebetulnya di luar kepentingan oligarki ataupun elit lokal. Namun Aspinall mengakui, walaupun ada harapan pada fenomena bertumbuhnya ‘agensi popular’, namun masih terkendala oleh karakater kuat ‘aktivisme yang terpecah-pecah’ (fragmented activism). Faktanya, kelemahan keterorganisiran politik dan keberlanjutan gerakan sosial yang ada terus menerus jadi ciri yang belum kunjung terobati, sejak anti klimaksnya gerakan rakyat mendorong reformasi yang sukses melengserkan Soeharto tahun 1998.
Gerakan yang sekarang memajukan wacana mempertahankan hak demokrasi rakyat, tidak mungkin dilakukan tanpa konsolidasi dan keterorganisiran serta tindakan-tindakan nyata. Artinya, arus balik politik kaum oligarki yang sedang menggelegak saat ini, jangan sampai membuat kita naif bergantung pada tokoh-tokoh, bahkan, yang paling populer sekalipun, seperti Ahok, Ridwan Kamil, dll. Tentu saja mendorong pertentangan posisi yang serius di antara para tokoh itu penting, tapi seharusnya hal itu berefek pada konsolidasi dan pendidikan politik kepada rakyat. Momen saat ini hanya mungkin berdampak strategis jika dimanfaatkan oleh perjuangan membangkitkan partisipasi politik popular di tingkat lokal, guna mempertahankan elemen-elemen positif dari desentralisasi. Bersamaan dengannya, mulai melakukan pembongkaran terhadap kerangka desentralisasi yang selama ini merugikan rakyat pekerja (politik uang, pengerdilan partisipasi lewat institusi-institusi yang anti politik, serta koordinasi antar sektor yang memungkinkan blok politik transformasi tersendat).
Bila ruang yang disediakan oleh polemik pilkada langsung ini digunakan secara serius untuk menghasilkan pengetahuan dan tindakan yang tepat, maka sangat mungkin ada transformasi yang melampaui fantasi kaum neoliberal ataupun versi pembajakannya oleh para oligarki.***

Mahalnya Biaya Kuliah Sebagai Konsekuensi Kebijakan Neoliberalisme: Studi Kasus Universitas Indonesia

Read more 0
TULISAN mengenai biaya pendidikan yang ditulis Rio Apinino dan Dicky Dwi Ananta,[1] dan kemudian mendapatkan respon cepat dari saya[2] telah mendorong Badan Kelengkapan MWA UI Unsur Mahasiswa 2014 untuk melakukan kajian khusus mengenai kebijakan biaya pendidikan. Kajian ini digarap oleh Rizki Baiquni Pratama, Arya Adiansyah dan Emma Septian.[3]Diskursus ini akan kembali saya lanjutkan, dengan melempar pertanyaan terkait posisi mahasiswa terhadap kepentingannya yang paling dasar selama aksesibilitas terhadap pendidikan sebagai hak setiap warga negara, pendidikan tinggi sebagai instrumen perubahan sosial dapat diperjuangkan dan dipertahankan, sementara kebijakan-kebijakan yang diberlakukan dalam pendidikan tinggi berada dalam logika neoliberalisme yang sejatinya bertentangan?
menempuh jenjang pendidikan tinggi. Apakah mahasiswa dapat mempertahankan wacana bahwa pendidikan adalah hak asasi bagi semua orang, yang kemudian juga berlaku di level pendidikan tinggi? Bagaimana isu-isu mendasar semisal

Konteks Kebijakan Struktural
Sebagai konsekuensi atas penerapan ideologi neoliberalme, IMF dan World Bank meluncurkan paket kebijakan untuk menyokong pendidikan tinggi di negara-negara berkembang. Indonesia termasuk salah satu negara yang mengalami penyesuaian struktural tersebut, yang salah satunya ditandai dengan reformasi paradigma di periode 1994-2010. Pada Mei 2005, Indonesia sebagai anggota WTO, terpaksa harus menandatangani General Agreement on Trade Service (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.[4]
Dibukanya pendidikan tinggi ke pasar bebas, tentu saja bertujuan menghasilkan sumber daya manusia yang kompetitif di pasar tenaga kerja global. Liberalisasi pendidikan tinggi ini memiliki semangat untuk menciptakan pendidikan yang melampaui batas-batas negara-bangsa (internasionalisasi). Untuk mendukung hal tersebut, praktik kebijakan yang ditempuh pemerintah adalah dengan tidak menghambat (non-intervensi) pengambilan keputusan di level pendidikan tinggi.
Privatisasi pendidikan tinggi, menurut Levin[5] adalah pendidikan tinggi yang pengelolaannya terlepas dari kontrol pemerintah, baik tujuannya untuk mencari profit ataupun tidak. Privatisasilah yang kemudian menjadi refleksi dalam merumuskan dan menetapkan berbagai kebijakan pendidikan. Universitas diberi otonomi penuh untuk mengelola sumber dayanya seiring intervensi pemerintah yang semakin minim. Kondisi ini berimplikasi pada keharusan universitas untuk mengelola pendanaannya sendiri. Di Indonesia, paling tidak, harapannya adalah porsi ketergantungan universitas pada anggaran pemerintah menjadi lebih berkurang.
Pendidikan tinggi sebagai sebuah komoditas adalah sebuah keniscayaan. Artinya universitas perlu ‘menghidupi’ dirinya sendiri melalui pemaksimalan potensi ventura ataupun pembukaan program studi yang sedang populer (baca: dibutuhkan dalam industri). Hal tersebut sebagai cara untuk mendatangkan profit yang dapat digunakan untuk pengelolaan universitas. Inilah yang kemudian dinamakan sebagai komersialisasi pendidikan tinggi. Di titik otonomi yang paling ekstrem, pendidikan tinggi dijadikan sebagai suatu perusahaan yang murni ditujukan untuk mencari keuntungan.

Meninjau Sistem Biaya Pendidikan di Universitas Indonesia
Mahasiswa Universitas Indonesia, dari angkatan 2010 hingga 2014 kini tentu lazim dengan tiga sistem pembayaran di UI. Tiga jenis pembayaran tersebut yaitu penuh, cicil, dan BOP-Berkeadilan. Kondisi yang tentu berbeda dengan kondisi di tahun 2008 saat sistem BOP-B lahir. Ketika itu, BOP-B menjadi satu-satunya sistem pembayaran di UI.
BOP-B adalah mekanisme pembayaran yang lahir karena adanya penyesuaian (kenaikan) biaya pendidikan di UI pada tahun 2008. Hal ini tidak lepas dari perubahan status UI dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang kemudian diubah kembali menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH). UI yang awalnya mendapat sokongan dana dari pemerintah kini harus mengelola keuangannya sendiri. Sejak tahun 2004, UI meluncurkan paket kebijakan terkait pembiayaan pendidikan yang harus dibayarkan oleh mahasiswa. Pada tahun 2008, biaya pendidikan yang harus dibayarkan oleh mahasiswa mengalami penyesuaian (kenaikan). Alasannya dikarenakan UI kekurangan suntikan dana untuk tetap menjalankan pengelolaannya.
Sebelum tahun 2008, UI menerapkan standar tunggal biaya pendidikan di UI untuk seluruh mahasiswa yakni 1,75 juta rupiah per semester yang disertai dengan mekanisme keringanan bagi yang tidak mampu. Sementara BOP-B adalah mekanisme pembayaran di mana mahasiswa membayar sesuai dengan kemampuan bayar penanggung, dengan melengkapi berkas tertentu untuk menentukan besaran yang harus dibayar. Kisaran yang ditetapkan oleh UI adalah 0 – 5.000.000 rupiah untuk rumpun sosial humaniora dan 0 – 7.500.000 untuk rumpun kesehatan dan sains teknologi. Tetapi, mulai dari tahun 2009 hingga kini, BOP-B tidak lagi menjadi satu-satunya sistem pembayaran. UI memberlakukan tiga jenis mekanisme pembayaran, termasuk BOP-B yang kemudian diubah sebagai paket subsidi. Yang mana hanya mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi yang boleh mengajukan permohonan pembayaran melalui BOP-B.
Tahun 2012, pemerintah mengesahkan UU No12/2012. Pasal 88 undang-undang tersebut mengamanatkan pemerintah untuk menerapkan suatu standar tertentu biaya operasional pendidikan tinggi dan sistem pembayaran biaya pendidikan bagi mahasiswa. Amanat ini sekarang kita kenal sebagai Uang Kuliah Tunggal (UKT). Sebelum menerapkan UKT, pemerintah terlebih dahulu menerbitkan Surat Edaran Dikti Nomor 488 E/T/2012 dan surat Edaran Dirjen Dikti Nomor 97 E/KU/2013 yang keduanya mengatur tentang pelaksanaan sistem UKT untuk PTN dan penghapusan uang pangkal bagi mahasiswa baru tahun akademik 2013/2014.
Di UI, sistem UKT tampak di mana mahasiswa tidak lagi membayar komponen biaya operasional pendidikan secara terpisah semisal membayar per SKS, uang praktek, ujian, dan sebagainya. Tetapi dalam mekanisme penetapan kisaran, UI menerapkan kebijakan BOP-B yang mana kisarannya ditetapkan melalui berkas, dan angkanya bisa berbeda dengan angka kisaran yang ditetapkan oleh DIKTI. Sebabnya UKT versi Dikti ‘hanya’ mencocokkan pendapatan/pekerjaan penanggung biaya dengan kisaran (atau yang lazim pula disebut dengan golongan), yang sarat dengan indikator kualitatif; seperti surat pernyataan kepala RT dan/atau tetangga, ‘cerita’ pengaju BOPB tentang kondisi keluarga dan sebagainya.
Tahun depan, kondisinya barangkali akan berbeda. Rektor UI, Muhammad Anis pada suatu kesempatan menyatakan bahwa batas atas kisaran yang akan diterapkan oleh UI akan naik. Kenaikan ini sebagai respon penyesuaian dengan sistem UKT versi Dikti, yang ‘dikuatkan’ dengan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 73 Tahun 2014. Dalam lampiran peraturan ini, disebutkan bahwa biaya kuliah tunggal Universitas Indonesia untuk rumpun sosial rerata mematok biaya sebesar 6.093.000 rupiah, sedangkan untuk rumpun eksakta beragam dari angka 7.799.000 rupiah sampai dengan 15.232.000 rupiah.
Alasan lain kenaikan batas atas kisaran didasarkan pada asumsi bahwa UI ‘disudutkan’ oleh universitas-universitas lainnya, terutama yang berstatus Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH). UI dianggap masih mematok harga yang lebih murah untuk pendidikan tinggi dibanding PTN-BH lain. Contoh kasus Fakultas Kedokteran UI yang dinilai paling murah di antara Fakultas Kedokteran dari PTN BH lain. Harga murah ditakutkan akan merusak pasar, karena akan menyebabkan calon-calon mahasiswa kedokteran akan berlomba-lomba memilih UI yang memiliki batas kisaran lebih murah namun dengan garansi akan mendapatkan kualitas yang lebih baik. Alasan lain kenaikan tersebut adalah pendapat dari level eksekutif universitas yang menganggap bahwa berlarut-larutnya progres pembangunan fisik di lingkungan UI disebabkan oleh kondisi keuangan UI yang ‘cekak’ sehingga kenaikan dipandang sebagai konsekuensi logis dan solusi untuk menambah pendapatan.

Marxisme dan Hantu

Read more 0
HANTU, menurut KBBI, ialah “roh jahat (yang dianggap terdapat di tempat-tempat tertentu)”. Biasanya ‘hantu’ juga diidentikkan dengan roh orang mati yang bisa menampakkan diri pada orang hidup. Apa yang dilakukan ketika hantu menampak bisa macam-macam. Ada yang hanya menampak sebagai sosok, ada yang sambil senyum atau tertawa, ada pula yang cuma tercium aromanya. Di dalam cerita rakyat dan film-film, ada pula hantu yang tidak sekadar menakut-nakuti dengan kehadirannya, tapi juga menculik, mencekik, atau merasuki dan membuat yang terasuki itu gantung diri atau lari masuk kolong kereta api. Apapun perbuatan mereka, di banyak kebudayaan, hantu dipahami sebagai salah satu spesies dari genus mahluk gaib, suatu adaan yang hakikatnya tak langsung kasat mata (kecuali diniati oleh mereka sendiri untuk menampak) tapi bisa berinteraksi dengan orang-orang hidup.
Hantu dan pengalaman tentang hantu lumayan universal dalam arti sebaran geografis dan masanya. Karena itu pula tidak sedikit masyarakat yang mengembangkan lembaga atau upacara tertentu terkait dengan kepercayaan terhadap hantu-hantunya.
Di antara pembaca mungkin ada yang pernah ditanya, ‘sebenarnya, hantu itu ada tidak sih?’ Apabila penanya adalah kawan lama, jangan sampai Anda balik bertanya: 1) ‘Menurutmu ada itu apa?’ atau 2) ‘dalam pertanyaanmu, apa diferentia specifica dari hantu yang kamu maksud?’ Apabila setiap orang yang bertanya dibalik tanya, apalagi dengan pertanyaan balik yang terdengar betapa kalian terasa begitu berjarak, saya jamin seumur hidup Anda tidak akan berteman, kecuali dengan sesama orang-orang membosankan lainnya. Kadangkala kesehatan batin yang terpelihara lewat pertemanan yang baik lebih berharga ketimbang kebenaran, meski nabi Anda menyuruh Anda untuk mengungkap kebenaran meskipun menyakitkan. Kebohongan itu perlu dan adaptif dalam pertemanan. Meski Anda merasa punya jawabannya, saran saya, daripada Anda jawab langsung, lebih baik kiranya Anda tulis saja untuk kolom mingguan di blog. Boleh juga dengan nama samaran supaya lebih misterius.
Sebagian orang menganggap pertanyaan di atas sudah selesai hanya dengan mengatakan bahwa hantu itu tidak ada. Apa buktinya? Buktinya hanya karena dia tidak pernah melihat hantu. Tapi bukti ini mudah terbantah oleh fakta bahwa ada orang-orang yang pernah melihatnya. Buat Marxis, menurut saya, persoalannya tidak beres begitu saja dengan mengatakan ‘tidak ada, karena saya tidak pernah melihatnya. Titik!’ Sekadar empirisme tidak menyelesaikan masalah soal kepercayaan kaum spiritualis modern.[1] Para pemburu hantu kontemporer, para penganut empirisme radikal itu, konon punya bukti rekaman suara dan gambar hantu. Mereka pakai sarana sains seperti magnetometer, kamera inframerah, perekam infra-suara, dan sebagainya untuk membuktikan keberadaan hantu. Dari kegiatan mereka, berbagai tayangan televisi dibuat, ditonton, dan dijadian bukti lanjutan bagi mereka yang percaya. Marxis mesti ambil jalan lain selain empirisme soal hantu ini. Tulisan ini niatnya ke situ.
Sebagai orang terpelajar yang pernah belajar filsafat, kawan saya mengajarkan bahwa pertanyaan di atas, soal ada tidaknya hantu, tergolong ke dalam ontologi terapan. Ontologi terapan itu berkisar di pertanyaan ‘apa saja yang ada dan mungkin ada?’ Terkait pertanyaan tersebut, maka setidaknya ada dua pandangan yang umum. Pertama, hantu ada. Kedua, hantu itu tidak ada. Karena apabila saya pilih jawaban kedua maka selesai sudahlah tulisan ini sampai di sini, maka saya pilih jawaban pertama. Tapi di antara golongan yang percaya bahwa hantu itu ada, ada dua sekte lagi yang bertentangan pandangan. Pertama, hantu itu adaan objektif, bagian dari dunia eksternal yang keberadaannya terlepas dari dan tidak bergantung pada pikiran manusia. Kedua, hantu itu adanya di pikiran manusia saja, tak lebih dari ciptaan akalbudi. Meminjam istilah para ahli filsafat, sekte pertama boleh dibilang menganut realisme, sedang yang kedua itu anti-realisme.
Buat realis, status ontologis hantu itu objektif dan transenden terhadap pikiran dan daya imajinasi manusia. Manusia menangkapnya dengan indra, perasaan, dan pikiran lalu kemudian baru menuangkannya ke dalam konsepsi tertentu. Jadi, hantu itu ditemukan. Sebaliknya buat anti-realis, status ontologis hantu itu nihil selain sebagai hasil atau produk daya pikir manusia. Keberadaannya imanen terhadap dan bergantung pada keberadaan pikiran manusia dan oleh karena itu subjektif.
Sebelum jauh melangkah, tentu pembaca bertanya-tanya: apa sih urusannya Marxisme dan persoalan status ontologis hantu ini? Sewaktu menulis paragraf di atas, saya sendiri belum kepikiran apa ada hubungannya. Tapi in shaa Alloh dalam uraian di bawah mungkin kita bisa temukan kaitannya.
Kalau kita pikir-pikir, kedua pandangan (realis/temuan-antirealis/ciptaan) tampaknya tak bisa didamaikan. Keduanya bertentangan. Satu-satunya persamaan keduanya ialah kepercayaan bahwa hantu itu ada. Namun, apabila kita dengan cendekia menelisik lebih dalam layaknya para filsuf, kelirulah apabila kita sangka kedua posisi itu sungguh-sungguh bertentangan. Kedua posisi tersebut sebetulnya berangkat dari andaian yang diwarisi dari sumber yang sama. Akarnya ialah pernyataan Descartes ihwal keberadaan Tuhan. Menurutnya, mustahil kita punya gagasan atau representasi tentang Tuhan kecuali memang ada realitas Tuhan, entah itu di dalam atau di luar pikiran kita. Nah, dikaitkan dengan keberadaan hantu, karena manusia punya gagasan atau representasi atas hantu, masuk akallah apabila kita nyatakan pasti realitasnya juga ada, entah di pikiran manusia atau di luarnya.
Sepintas, penalaran ini masuk akal. Tapi dengan kacamata Marxisme, kedua posisi sama-sama keliru. Dasar kekeliruan ini bukan karena Marxis itu mestinya secara heroik tidak percaya hantu itu ada. Apalagi jika satu-satunya sokongan posisi heroik itu ialah pengertian a priori. Marxis tidak semestinya langsung menolak keberadaan hal-ihwal yang dipercaya adanya oleh banyak kebudayaan, sebelum menyelidiki hal tersebut secara ilmiah dan rasional. Inilah kiranya yang bisa membedakan Marxis dari tukang rusuh.
Lantas, apa dasar kekeliruan kedua-dua posisi yang dipersoalkan Marxis? Soalnya terutama terletak pada perbedaan arti serta tidak saling sulihnya apa yang dimaksud ‘manusia’ di dalam kedua pernyataan posisi. Dirumuskan secara formal, kedua pernyataan bisa seperti berikut:
  1. Keberadaan hantu itu terlepas dan tidak bergantung pada keberadaan pikiran manusia,
  2. Keberadaan hantu itu tidak terlepas dan bergantung pada keberadaan pikiran manusia.
Kekeliruan rumusan di atas dan tafsir kebertentangannya karena kedua posisi bisa jadi benar, karena apa yang dimaksud ‘manusia’ di dalam keduanya bisa merujuk pada hal berbeda. Pada pernyataan pertama, ‘manusia’ merujuk pada organisme individual, sedang pada yang kedua merujuk pada spesies manusia. Dari situ posisi ketiga bisa muncul: hantu itu ada di luar dan tidak bergantung pada pikiran individu manusia, tetapi tidak mungkin terlepas dari keberadaan spesies manusia. Mengapa? Sampai sekarang belum ada bukti bahwa simpanse percaya pada keberadaan hantu. Buat seekor simpanse, amat mungkin apa yang menampak lewat indranya tidak dibeda-bedakan antara hantu dan bukan-hantu. Semua yang menampak adalah semua yang menampak. Satu-satunya patokan kategorisasi simpanse atas realitas tampakan ialah makanan/bukan makanan, pasangan kawin/bukan pasangan kawin, anggota kelompok/bukan anggota, dan berbagai kategori-kategori praktis dalam kehidupan mereka. Kategorisasi antara manusia hidup dan arwah manusia mati, hanya ada pada manusia. Keberadaan kategori macam begini dimungkinkan oleh daya pikir yang inheren di dalam struktur otak dan kapasitas kognitif spesies manusia. Tak seperti simpanse yang pikirannya ‘episodik’, pikirannya manusia itu reflektif. Kehidupan simpanse, sebagaimana binatang selain manusia lainnya, dihidupi sepenuhnya di dalam kekinian abadi [terdengar seperti kelakuan kaum posmo]; hanya sebagai serangkaian episode konkret. Unsur tertinggi memori representasi ada pada tingkatan representasi peristiwa. Tak seperti manusia, simpanse tidak bisa mengambil memori sekehendak hati mereka sendiri karena seperti jejaring neural, mereka bergantung pada lingkungan untuk akses memorinya. Mereka itu mahluk yang terkondisikan langsung oleh lingkungan dan berpikir hanya dalam arti bereaksi langsung ‘sekarang juga’ terhadap lingkungan.

Cuma manusia yang dapat mengakses memori sesuka hati. Para ahli neurologi menyebut kapasitas ini sebagai ‘pengisyaratan-diri’ atau kemampuan untuk secara sekehendak hati memanggil kembali bulir-bulir memori tertentu tanpa bergantung pada lingkungan. Misalnya ada seekor simpanse dan seorang manusia yang sedang melalui jalan setapak yang sama di hutan yang sama. Perilaku dan isi pikiran simpanse sepenuhnya ditentukan lingkungan yang langsung dihadapinya. Dia mungkin berpikir soal buah-buahan matang yang menggelayut di pepohonan sekitar atau biji-bijian yang tergeletak di tanah, dan kepikiran untuk mengambil, menumbukkan batu ke biji-biji itu satu per satu dan memakan isinya. Sementara itu, si manusia yang berjalan di jalan hutan yang sama, bisa jadi berpikir tentang sesuatu yang sepenuhnya tak berkaitan dengan lingkungan seperti tanggal tenggat pembayaran hutang cicilan motor, balasan surat cinta yang tak kunjung datang, atau tema apa kiranya yang layak diangkat di kolom Logika Rabu depan.
Jadi, untuk adanya ‘realitas’ hantu sama sekali, mestilah ada spesies yang mempunyai kapasitas kognitif tertentu yang melampaui perilaku kognitif binatang pada umumnya. Dengan kapasitas ini dimungkinkanlah pemilahan atas gejala-gejala yang menampak ke pikiran berdasarkan kategori atau patokan yang tak langsung terikat pada lingkungan langsung tertentu. Dari sini ‘diferentia specifica’ hantu dan bukan-hantu bisa dirunut dan ‘hantu’ pun ada karenanya. Keberadaannya bisa saja tidak di benak individu-individu, tetapi mustahil ia ada di luar keberadaan spesies manusia.
Dari sudut pandang Marxis, posisi ketiga ini masih mengandung masalah. Apa pasal? Pernyataan posisi ketiga bergantung pada dua konsepsi ‘manusia’ yang tidak realistik. Pada kalimat kedua, ‘manusia’ dimengerti sebagai spesies manusia atau manusia sebagai suatu kategori. Manusia abstrak macam begini tidak mungkin punya pikiran, kehendak, dan perbuatan. Manusia ini hanya ada di benak para filsuf dan buku-buku filsafat. Oleh karenanya tidak mungkin mengadakan hantu bagi dirinya.
Agak lebih realistik ialah pengertian ‘manusia’ pada kalimat pertama, yakni manusia sebagai organisme individual. Sebagai organisme individual, manusia tentu punya pikiran, kehendak, dan potensi perbuatan. Tidak seperti ‘manusia’ abstraknya filsuf, manusia ini lebih nyata. Namun, manusia macam ini juga belum nyata sepenuhnya. Apa pasal? Karena di sini manusia diibaratkan atom-atom yang muncul entah dari mana. Selain di benak kreatif ilmuwan borjuis semacam Thomas Hobbes, pengibaratan ini tidak punya landasan sama sekali di dunia nyata. Coba saja tengok kehidupan kita masing-masing. Tak pernah ada yang namanya manusia individual universal. Yang senantiasa ada ialah individu-individu sosial yang sudah selalu berada di dalam relasi-relasi tertentu dengan sesamanya di dalam bentuk-bentuk sosialitas tertentu. Kesosialan itu bukan sesuatu yang ditambahkan kemudian ketika individu-individu saling jumpa, bersepakat bikin kontrak, dan hidup bersama. Sosialitas itu lebih primitif daripada individualitas karena faktanya watak kesosialan manusia diwarisi dari biologi leluhur keranya yang juga sosial. Ingat ya, manusia itu tidak seordo dengan laba-laba, tapi primata. Jadi, karena kesosialan ialah faktisitas keberadaan manusia, maka setiap pemahaman masuk akal ihwal status ontologis hantu mestilah memasukkan faktor sosialitas ke dalam rumusannya. Dari sini Marxis masuk membawa posisi keempat yang diturunkan dari posisi ketiga dengan tambahan pemahaman soal sosialitas keberadaan manusia.
Secara formal, posisi Marxis bisa begini:
Hantu dalam keseluruhannya—realitas dan kebenarannya—bisa jadi ada di luar pikiran individu-individu, tetapi ia tidak punya status ontologis di luar atau terpisah dari keberadaan masyarakat manusia dan kebudayaannya.
Hantu ada di luar benak individu sehingga bukan ciptaan pikirannya orang per orang. Tapi hantu juga tidak mungkin mengada di luar keberadaan akalbudi kolektif atau kebudayaan sehingga hantu ada sebagai reka cipta kolektif. Di luar tradisi kultural tertentu, hantu tidak punya keberadaan ataupun makna. Setiap orang lahir di dalam suatu masyarakat dengan kebudayaan tertentu yang dari sudut pandang individu sudah ada begitu saja dan tidak bergantung pada keberadaannya. Sebagai bagian dari kebudayaan, kebiasaan, kepercayaan, dan pola tindakan atas hantu diperoleh individu dari luar dirinya dengan mempelajari atau disosialisasikan oleh masyarakatnya. Artinya, satu-satunya status ontologis yang mungkin bagi hantu ialah konstruksi sosial. Batas-batas keberadaan dan kebenarannya ditentukan oleh struktur dan dinamika masyarakat tempat hantu itu berada. Coba kita ambil beberapa contoh. Sepengetahuan saya, tidak ada yang namanya hantu universal, yang ada di semua masyarakat dan menakutkan bagi semua orang di delapan penjuru mata angin. Kalaupun ada kemiripan, seperti YÅ«rei di Jepang, Pontianak atau Kuntilanak atau Penanggalan di Nusantara, serta Ap atau Krasue di Indocina, itupun tak lebih dari gendernya yang sama-sama perempuan. Apabila kita periksa gambaran satu per satu hantu-hantu itu, maka satu-satunya kesamaan mereka ialah keberadaan jejak-jejak kebudayaan di dalamnya. Ambil contoh pocong. Pocong itu spesies hantu yang cirinya mengenakan kain kafan seperti halnya kain yang dipakaikan pada jenazah di Jawa. Untuk adanya hantu pocong sama sekali, perlu ada masyarakat yang percaya bahwa menguburkan jenazah ke dalam tanah galian adalah praktik yang wajar. Di Jawa, masyarakat semacam ini hanya mungkin ada pasca keruntuhan Majapahit abad ke-15. Mengapa? Praktik menguburkan jenazah ialah bagian dari praktik kepercayaan Islam, dan Islam baru menyebar di Jawa setelah Kesultanan Demak berdiri di atas reruntuhan Majapahit. Sebelumnya, seperti penganut Hindu pada umumnya, jenazah tidak dikubur, tetapi dibakar.
Keberadaan hantu Pontianak (di Nusantara) atau YÅ«rei (di Jepang, model rujukannya Sadako) juga, misalnya, mensyaratkan keberadaan masyarakat yang sudah mengenal industri garmen. Bagaimana tidak, keduanya sama-sama mengenakan semacam pakaian putih berbahan kain. Untuk adanya kain putih yang mereka kenakan, mesti ada terlebih dahulu masyarakat yang memproduksi kain putih, dan untuk adanya sama sekali produksi itu perlu adanya domestifikasi dan pertanian kapas (Gossypium sp.). Baik produksi kain maupun bahan baku kapas, merupakan gejala kebudayaan baru dalam evolusi kebudayaan manusia. Bukti arkeologi tertua kapas terdapat di anak benua India 7000 tahun silam, meski katun sendiri mungkin baru diproduksi sebagai pakaian yang praktiknya tersebar luar 2000-1000 tahun lalu di India. Di Jawa, bukti produksi katun tercatat dalam Laporan Tahunan Dinasti Tang (618-907 M). Di Jepang sendiri, hingga tahun 1600, bukan katun putih yang jadi bahan dasar pakaian orang Jepang. Artinya, YÅ«rei hanya mungkin mengada setelah masa ketika industri katun sudah berkembang.
Dari paparan di atas, ada beberapa hikmah yang bisa dipetik. Pertama, dalam menghadapi pertanyaan-pertanyaan soal hantu (mitos, legenda, atau alien misalnya), Marxis tidak semestinya keburu nafsu teriak ‘reaksioner’, ‘tahayul’, ‘ideologis’ dan menghakimi secara a priori keberadaan realitas itu di dalam masyarakat kita. Marxis semestinya tidak mematok secara a priori tanpa penyelidikan ilmiah rasional status ontologis hal-ihwal. Inilah yang membedakan Marxis dengan Pemalas.
Kedua, inti Marxisme ialah metode dan cara pandang materialis historis atas hal-ihwal. Dengan bekal ini, semestinya tak ada Marxis yang dapat tergentarkan hati dan pikirannya menghadapi berbagai pertanyaan, seberapa pun besarnya kadar ‘jebakan batman’ dari pertanyaan itu.
Ketiga, apabila ada di antara pembaca yang mengganti kata ‘hantu’ yang ada di dalam tulisan ini dengan ‘tuhan’, saya sama sekali tidak melarang. Tapi saya mewanti-wanti dengan sepenuh pengertian bahwa mungkin ada akibat lanjutannya. Dan saya tidak bertanggung jawab atas akibat-akibat itu.
Sekian.***

Revolusi dan Perempuan

Read more 0
Bagi kaum Marxis, akar masalah dari segala bentuk penindasan terdiri dalam pembagian masyarakat ke dalam kelas. Tapi penindasan dapat mengambil banyak bentuk. Di samping penindasan kelas, kita menemukan penindasan satu bangsa di atas yang lain, penindasan rasial, dan penindasan terhadap perempuan.
Perkembangan industrialisasi abad 17 dan 18 secara radikal telah mengubah tatanan lama di dalam hubungan keluarga. Dulu kala, sebelum munculnya kepemilikan atas alat produksi dan pembagian masyarakat kelas, perempuan dan laki-laki terlibat dalam proses produksi secara setara, dan punya hak yang sama. Namun, akibat kepemilikan pribadi-lah perempuan terlempar pada kerja rumah tangga dan berkutat di dalamnya.
Memasuki epos kapitalisme yang barbar ini, “kodrat” perempuan yang semula berkisar antara kasur-dapur-sumur, menjadi seorang putri-istri-ibu, lengkap beserta kerja domestiknya, saat ini perannya mulai diperluas untuk menempati barak-barak pabrik, berjejer menjadi cadangan tenaga kerja,  bekerja sebagai buruh upahan meski upahnya tidak lebih tinggi daripada laki-laki meskipun porsi kerjanya bisa dibilang sama. Dalam logika kapitalisme, pada saat yang sama ini mengembalikan kaum perempuan ke dalam proses produksi sekaligus mengungkung mereka dalam batasan keluarga tradisional, yakni bertugas menyiapkan buruh-buruh yang prima, generasi penerus yang menjadi cadangan tenaga murah di masa depan.
Sebagaimana di belahan dunia yang lain, masyarakat meletakkan perempuan sebagai warga kelas dua. Pun di dalam gerakan, kaum perempuan sering kali dipandang sebagai elemen terbelakang yang kesadarannya begitu susah untuk terdorong ke depan, lemah berpikir, dan mengedepankan perasaan daripada otak. Begitulah penilaian atas kaum perempuan, jika kita menggunakan akal sehat. Namun sebagai kaum Marxis, kita tidak menggunakan akal sehat, kita menggunakan dialektika. Akal sehat (logika formal) tidak mampu memahami hal-hal yang sifatnya kompleks.
Dengan dialektika, kita tahu bahwa setiap hal selalu mengandung benih dari hal lain yang menjadi lawannya. Gampangnya: setiap kemunduran selalu mengandung potensi untuk terjadinya kemajuan, tiap kelemahan dapat dibalik menjadi kekuatan, tiap kekuatan dapat menjadi titik lemah yang mematikan, tiap kelahiran akan membawa kematian dan tiap kematian adalah bahan bakar bagi sebuah kelahiran baru. Dialektika bekerja tanpa kasat mata. Ia adalah proses yang terus berlangsung dan tanpa henti. Tidak melulu berjalan lurus, kadang zig-zag, mengalami proses yang gradual, stagnasi dan kemunduran, bahkan mengalami lompatan-lompatan. Trotsky menyebutnya, proses molekular dalam revolusi.
Kaum Marxis berjuang melawan penindasan dan diskriminasi dalam segala bentuk, sembari menunjukkan bahwa hanya transformasi yang radikal (baca:revolusi) dari masyarakat dan penghapusan perbudakan kelas-lah yang mampu menciptakan penghapusan perbudakan dalam segala manifestasinya dan pembentukan masyarakat sosial yang berbasis pada kemanusiaan, kesetaraan dan kebebasan. Dalam konteks pembebasan perempuan, penindasan terhadap perempuan berusia sama tuanya dengan saat masyarakat kelas, kepemilikan pribadi, dan negara, mulai terbentuk. Penghapusannya pun tergantung pada penghapusan kelas, yakni revolusi sosialis.
Namun, ini tidak berarti bahwa penindasan terhadap perempuan akan lenyap begitu saja saat kekuatan proletar mengambil alih kekuasaan. Warisan psikologis dari kelas yang barbar pada akhirnya akan dapat diatasi secara menyeluruh ketika kondisi sosial diciptakan untuk pembentukan hubungan yang nyata antara laki-laki dan perempuan. Pembebasan sejati kaum perempuan, hanya bisa dilakukan saat proletar menggulingkan kapitalisme dan meletakkan syarat-syarat kondisi untuk pencapaian masyarakat tanpa kelas.
Tidak berarti pula, bahwa perempuan harus menunggu datangnya revolusi sosialis untuk memecahkan masalah-masalah mereka, dan sementara itu berserah diri pada diskriminasi, penghinaan dan dominasi laki-laki. Sebaliknya, tanpa perjuangan sehari-hari di bawah masyarakat sosial hari ini, sebuah perjuangan untuk revolusi sosialis tidak akan pernah terpikirkan. Justru melalui perjuangan untuk reforma-reforma lah kelas pekerja secara keseluruhan akan belajar, mengembangkan kesadarannya, memperoleh kekuatan sendiri, dan akan meningkatkan level dirinya ke tingkat yang dituntut oleh tugas sejarah yang lebih besar.
Banyak perempuan-perempuan muda pertama kali menyadari kebutuhan untuk mengubah masyarakat melalui perjuangan hak-hak perempuan. Mereka termotivasi oleh rasa amarah yang disebabkan ketidakadilan dan perlakuan biadab terhadap perempuan oleh masyarakat yang munafik, yang mengklaim tunduk pada kepatuhan atas demokrasi dan kebebasan.
Kebutuhan Akan Revolusi
Ada banyak tuntutan yang kita bisa dan harus perjuangkan sekarang: segala bentuk diskriminasi di masyarakat dan tempat kerja; pembayaran yang sama atas pekerjaan yang sama nilainya; hak perceraian; perlindungan perempuan atas kekerasan laki-laki; pelecehan seksual, perkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga; perlindungan anak yang berkualitas; dan sebagainya. Semua hal tadi benar-benar dibutuhkan.
Tetapi, perjuangan untuk pembebasan perempuan tidak pernah dapat sepenuhnya terwujud atas dasar suatu masyarakat, di mana yang mayoritas justru didominasi, dikendalikan dan dimanfaatkan oleh para bankir dan kapitalis. Untuk mengakhiri penindasan perempuan, maka perlu mengakhiri penindasan kelas itu sendiri. Perjuangan untuk pembebasan perempuan, karena itu organik terkait dengan perjuangan untuk sosialisme.
Dalam rangka menghadirkan revolusi sosialis, perlu untuk menyatukan kelas pekerja dan organisasi-organisasinya, memotong di semua lini bahasa, kebangsaan, ras, agama dan jenis kelamin. Ini berarti, di satu sisi, bahwa kelas pekerja harus mengambil ke atas dirinya sendiri tugas memerangi segala bentuk penindasan dan eksploitasi, dan menempatkan dirinya di kepala semua lapisan masyarakat tertindas, dan di sisi lain, harus tegas menolak semua upaya untuk membaginya dengan para borjuasi -- bahkan ketika upaya ini dibuat oleh bagian yang tertindas sendiri.
Ada hubungan paralel yang cukup tepat antara posisi Marxis terhadap perempuan dan posisi Marxis pada persoalan nasional. Kita punya kewajiban untuk melawan segala bentuk penindasan nasional. Tapi apakah ini berarti bahwa kita mendukung nasionalisme? Jawabannya adalah tidak. Marxisme adalah internasionalisme. Tujuan kita bukan untuk mendirikan batas baru tapi untuk melarutkan semua perbatasan di atas federasi sosialis dunia.
Borjuis dan kaum nasionalis borjuis kecil memainkan peran merusak dalam membagi kelas pekerja pada garis nasionalis, bermain-main di wilayah perasaan yang diliputi ketidakmengertian dan kebencian yang disebabkan oleh bertahun-tahun diskriminasi dan penindasan di tangan para penindas. Lenin dan kaum Marxis Rusia melancarkan perjuangan yang teguh di satu sisi melawan segala bentuk penindasan nasional, tapi juga di sisi lain terhadap upaya borjuis dan borjuis nasionalis untuk memanfaatkan masalah nasional untuk tujuan demagog. Lenin menegaskan, bahwa perjuangan untuk mengakhiri kapitalisme adalah dengan menyatukan kelas pekerja dari semua bangsa, dan ini sebagai satu-satunya jaminan nyata untuk menyelesaikan masalah-masalah kebangsaan (masalah nasional) di bawah panji federasi sosialis.
Dengan kata lain, kaum Marxis mendekati persoalan nasional secara eksklusif dari sudut pandang kelas. Hal ini sama dengan sikap Marxis terhadap penindasan perempuan. Saat berperang melawan segala bentuk diskriminasi dan penindasan, kita harus tegas menolak setiap upaya untuk menyajikan masalah sebagai konflik antara laki-laki dan perempuan. Setiap pembagian antara berbagai kelompok pekerja: perempuan terhadap laki-laki, kulit hitam terhadap kulit putih, Katolik terhadap Protestan, Sunni melawan Syiah, hanya dapat merugikan dan membantu melanggengkan perbudakan kelas.
Revolusi Oktober, Bolshevik dan Agenda Pembebasan Perempuan
Revolusi Oktober 1917, diakui atau tidak, masihlah menjadi revolusi paling megah yang membuktikan heroisme kaum buruh modern (didukung oleh kaum tani) di gelanggang panggung sejarah. Revolusi ini membawa seluruh beban di pundaknya, yakni tugas-tugas borjuis demokratik yang tidak mampu diemban oleh borjuis nasional Rusia. Dalam tempo 10 tahun pasca revolusi, ekonomi terencana dan pembangunan negara buruh pertama ter-realisasi dalam pencapaian ekonomi, termanifestasikan dalam bahasa mesin-baja-listrik, bukan hanya dalam bahasa dialektik. Revolusi ini juga merupakan peristiwa penting, yang menjadi rujukan dalam memahami perjuangan emansipasi perempuan dalam sejarah Rusia, dan evolusi gerakan pembebasan perempuan hingga hari ini.
Perempuan kelas pekerja Rusia menunjukkan perannya yang begitu besar pada Februari 1917. Dipandu oleh naluri kelas proletar, mereka menyingkirkan semua hambatan dan memulai revolusi. Penembakan yang dilakukan oleh pasukan tentara dan polisi Tsar terhadap 128.000 buruh yang terlibat dalam demonstrasi Hari Perempuan Internasional itu merupakan bendera start bagi sebuah gelombang revolusioner yang mampu memaksa salah satu kekaisaran yang paling kolot di Eropa untuk turun tahta. Di tahun yang sama, revolusi kembali pecah di bulan Oktober, sebagai kelanjutan dari revolusi sebelumnya. Revolusi itu, adalah Revolusi Oktober. Perempuan seperti Alexandra Kollontai memainkan peran yang penting dalam momen itu.
Revolusi Oktober memberi kaum perempuan hak yang sebelumnya tidak pernah dimiliki, hak yang jauh lebih besar daripada yang bisa diberikan di negara kapitalis manapun. Bolshevik berdiri untuk pembebasan perempuan dan transformasi keluarga. Rezim patriarkal kuno telah ada di desa-desa sejak jaman dulu. Penghambaan dan penindasan adalah satu-satunya hal yang diketahui oleh para petani perempuan. Sebelum revolusi, adalah suatu yang legal bila suami memukul istrinya. Revolusi Oktober memberikan perempuan status hukum yang sama dengan laki-laki melalui Kode Perkawinan, Keluarga dan Perwalian yang disahkan pada bulan Oktober 1918, setahun setelah revolusi. Anak-anak yang lahir di luar nikah diberi hak yang sama seperti mereka yang lahir dalam keluarga yang sudah menikah.
Prinsip upah yang sama untuk kerja yang sama dikodifikasi di dalam hukum. Detasemen perempuan Bolshevik meluaskan berita tentang revolusi di kalangan perempuan, mengatur pendidikan dan keaksaraan kelas politik kelas pekerja dan petani perempuan dan berjuang untuk penghapusan prostitusi.
Sekitar 50.000 sampai 70.000 perempuan secara sukarela telah bergabung ke dalam Tentara Merah sampai tahun 1920, meskipun mereka tidak diwajibkan melakukannya. Ini menunjukkan tingkat dukungan kaum Bolshevik terhadap partisipasi perempuan.
Lenin menekankan pentingnya emansipasi perempuan dan perlunya meringankan pekerjaan rumah tangga perempuan sehingga mereka bisa berpartisipasi lebih lengkap dalam menjalankan masyarakat. Namun, kemampuan Bolshevik untuk memecahkan berbagai masalah utama kehidupan sangat dibatasi oleh rendahnya tingkat perkembangan kekuatan produktif.
Emansipasi nyata perempuan hanya mungkin bila kelas pekerja sedunia secara keseluruhan terlibat dalam emansipasi itu sendiri. Sosialisme akan mengizinkan pengembangan bebas dari kepribadian manusia dan pembentukan hubungan manusia yang sejati antara perempuan dan laki-laki, bebas dari tekanan eksternal yang brutal, baik sosial, ekonomi atau agama. Namun, masyarakat seperti ini, mengandaikan tingkat perkembangan ekonomi dan budaya yang ada di tingkat yang lebih tinggi dari negara-negara kapitalis yang paling maju.
Di Rusia, pada bulan Oktober 1917, fondasi seperti ini tidak ada, mengingat keterbelakangan ekonomi dan kebudayaan masyarakat Rusia saat itu. Oleh karena itu, meskipun kemajuan besar dimungkinkan oleh revolusi, posisi perempuan di Rusia dilemparkan kembali ke awal, pertama oleh Stalinisme dan terlebih lagi oleh restorasi kapitalisme. Posisi perempuan di Rusia dan Eropa Timur saat ini jauh lebih buruk dari sebelumnya. Ini tidak boleh mengejutkan siapa pun. Atas dasar kapitalisme, tidak akan pernah ada jalan ke depan, di Rusia atau di manapun.

Sekolah Yang TaK Menyenangkan (Kritik Pendidikan)

Read more 0


karya ini sengaja ku tulis tentang bukti kepedulianku terhadap dunia pendidikan yang kuanggap perlu menjadi sebuah sorotan dalam membangun sebuah sistem pendidikan yang Ilmiah dan berwatk kerakyatn dan tulisan ini tidak bermaksud untuk mencederai pendidikan karena kritikan ini adalah sebuah model mendidik yang dipangkun sebagai seorang warga negara yang mengaku adalah orang yang berpendidikan.

Sumur Merah Cerita Perhelengan Episode dua (bagian tiga)

Read more 0
untuk episode dua bagian tiga ini adalah bagian terakhir dari bagian dua ini dan kedepan penulis akan berupaya dengan sekuat tenaga untuk bisa membuat cerita sumur merah ini sampai kepada bagian tiga yang tentunya masukan dorongan tentu menjadi harapan penulis agar bisa dilayangkan bagi kami baik melalui via telpon komentar chat sms dan lain-lain
bagi teman-teman yang belum sempat menyaksikan episode dua bagian dua dapat melihat dibawah ini
sumur merah episode dua bagian dua


Setelah kedua gadis tersebut tiba terlihat tetesan keringat membasahi pipi manis mereka, raut wajahnya terlihat kusam menandakan bahwa ada rasa lelah pada diri kedua gadis yang telah menempuh perjalanan yang panjang, mereka kemudian duduk beristirahat pas dekat di sumur merah tersebut kemudian mengipas wajahnya dan sesekali mereka mengambil lap untuk membasu mukanya untuk membersihkan tetesan keringatnya.
“Rezky, mengapa kita pergi jauh-jauh kesini hanya untuk mencuci?” Tanya meli sambil mengeluarkan pakaian didalam keranjang tempat pakaian yang dia bawa.
“Mel, kau taulah ini kan musim kemarau jadi air bersih sangat sulit ditemui dirumah, lagian tempat ini adalah salah satu tempat yang bersejarah buat kita mel, masih ingatkah kau bahwa di sumur ini lah kita pernah berjanji dan berikrar untuk membesarkan organ untuk menuju terwujudnya visi misi kita bersama dengan rakyat”.
Percakapan terus berjalan diantara kedua gadis belia tersebut, disungai itu ada seorang gadis dari desa lain menggunakan kendaraan motor metic berwarna merah memakai kerudung datang menghampiri kedua tersebut entah apa maksud kedatanganya tanya dalam hati kedua gadis itu,
“Assalamu alaikum ucak gadis berjilbab itu”
“Waalaikum salam” jawab mely dan rezky
“Maaf aku dari desa tetangga kalian yang tak jauh dari sini. di daerah ku tak dapat air bersih, bolehkah aku juga menumpang mencuci dsini?” Tanya gadis berkerudung itu dengan sangat lembut.
“Ohhhh ya bisalah ini kan tempat umum, ayo sini justru kami senang kok kalau sumur ini slalu ramai dikunjungi orang, karena  selama ini sumur ini jarang dikunjungi”.
Kata mely dengan senyum-senyum sambil mengajak gadis berkerudung itu untuk bergabung dengan mereka.
“Makasih ya semuanya kalian baik deee”. Jawab kembali gadis berkerudung tersebut dengan mencoba memuji mely dan rezky.
Mereka kemudian mencuci bersama sangat nampak mereka akrab seakan-akan ketiga gadis tersebut sudah lama saling mengenal.
Dari arah belakang kemudian muncul taming dengan menjinjing kantong plastik, berbaju kaus merah polos dan menggunakan celana buntung hitam (celana hanya melewati tumit) dengan berjalan kaki menghampiri ketiga gadis belia tersebut sembari senyum-senyum pepsodent
“Eeeh taming, apa yang kau bawah ming? Bagi dong kayaknya mangga madu itu ming?” Tanya mely sembari menyikat baju yang dicucinya,
“Ia ini aku sengaja bawakan kalian mangga madu, karena saya tau kalian pasti suka dengan mangga madu, wanita mana yang tak suka mangga madu, ia kan?”. Ungkap taming sambil menghibur hati teman-temanya.
Ketiga gadis itu semunya tersenyum  yang menandakan gadis gadis tersebut membenarkan apa yang baru saja diucapkan taming. Si mely membilas bajunya dengan penuh semangat dan kelihatan disamping kirinya di rezky masih menyikat kerudungnya yang tinggal beberapa pakaian lagi, sementara gadis berjilban yang ada disamping kiri pojok lagi merendam pakaianya yang sekali dua kali mencuri-curi pandangan taming. Dan kemudian gadis itu berbisik dalam hati bukan kah laki-laki ini adalah pria yang pernah jatuh kala itu, mengapa dia sangat cuek, seakan-akan dia tak mengenalku seakan-akan aku tak pernah melihatku mungkin kah dia sdah melupakan diriku yang pernah menolongku, aaah aku tak bisa berkata seperti itu maafkan lah aku tuhan, aku khilaf, seakan-akan aku tak iklas menolong orang. Mungkin aku salah orang, tapi kulihat di tangan kirinya masih ada luka disana, tidak, tidak aku tidak salah lagi mungkin dialah orangnya. Ucapan dalam hati gadis berjilbab itu membuat dia semakin gelisah dan membuat dia kadang tidak konsen.
“Rezky ayo kita ke rumahnya taming untuk mengambil pisau kita mau mengupas mangga” ajak mely yang sudah tidak sabaran ingin memakan mangga madu itu
Kerudung  berjilbab pun yang sedang mencuci langsung menyerahkan kuncinya motornya untk dipakai mely dan rezky, keduanya pun langsung beranjak meninggalkan sumur merah tersebut dengan mengendarai motor matic . tinggallah 2 insan yang tinggal di sungai merah tersebut, tak ada suara waktu itu semua hening gg ada hanya gambar seorang yang sedang mencuci dan taming yang duduk-duduk di batu besar pun suaranya terkunci rapat tak tau menahu apa yang sebenarnya terjadi mengapa semua dalam posisi yang diam. Gadis itu hanya memberontak dalam benaknya antara ingin mengucapkan kata-kata tapi mereka juga tak mampu mengeluarkan kata-kata, senada, dengan apa yang terlintas dalam pikiran lelaki itu mereka ingin sekali mengeluarkan kalimat-kalimat mukaddimah untuk memulai suatu kalimat tapi tak mampu juga melakukan hal itu,
Tiba-tiba gadis berjilbab itu sengaja memalingkan pandangannya ke mangga tersebut kemudian berkata
“andaikan mangga ini dapat tumbuh didekat rumahku alangkah bahagianya aku !!”
Taming pun bingung mendengar suara yang tak terduga akan mengawali cerita diawali oleh perempuan, karena biasanya dan menmang seharusnya  laki-lakilah yang harus memulai percakapan.
“Mangga itu bisa tumbuh, berkembang dan berbuah bisa dimana saja, tergantung yang merawatnya, kalau dia dirawat dengan baik maka mangga itu akan tumbuh dan berkembang jadi siapapun berhak memiliki mangga itu”. Jawab taming dengan menundukkan mukanya sedikit ke arah batu beras tersebut yang ia duduki
“Maaf aku mengira mangga ini hanya bisa tumbuh dan berkembang didaerah terkhusus saja, hanyab bisa tumbuh di batetangnga saja,maafkan aku yang tidak mengerti apa-apa. Klu boleh tau mengapa tangan kiri anda terluka apa karena jatuh atau bagaimana?”.
Taming langsung kaget dan berkata ahhh
“gg apa-apa namanya juga kita ini pelajar harus saling tukar pengalaman hal salah itu biasa , kalau soal tangan ku ini terluka karena jatuh dari pohon mangga””. Jawab taming dengan pura-pura berbohong,
Perempuan ini pun seakan-akan tak percaya kalau lelaki itu bukan dia, gadis itu langsung bertanya kembali,
“Apakah dikau pernah jatuh dari motor”, tanya sigadis berjilbab itu kembali dengan penuh penasaran
Taming menjawab “alhamdulillah kalau dalam beberapa waktu ini aku belum pernah, emangnya kenapa?”
“Tidak kok, tidak kenapa-napa, oh ya katanya kau punya organisasi, apa sih? Kelebihanya ber-organisasi itu, dan apakah itu tidak mengganggu dengan sekolah kita?” Tanya sigadis berjilbab itu dengan mencoba mengalihkan pembicaran.
“Kalau pengalamanku diorganisasi kayaknya tidak dee. Solx diorganisasi kan biasanya dilaksanakan di luar dari jam sekolah, justru di organisasi menyempurnakan pengetahuan kita yang didapat disekolah”,
“Contohnya ???” tanya gadis berkerudung itu dengan sungguh-sungguh
“Misalnya jurusan IPA dengan IPS karena tidak mungkin kita akan masuk dalam jkedua jurusan tersebut kita harus memilih salah satunya, sementara kedua jurusan ini adalah sama pentingya , nah cara untuk menyatukan ilmu itu adalah lewat organisasi karena didalam organisasi kita akan banyak-banyak belajar tentang kondisi sosial dan kondisi alam, hal inilah yang menjadikan ilmu kita semakin bertambah dan sempurnah, kemudian dalam organisasi kita tidak hanya belajar tentang ilmu sosialnya tapi ilmu itu kita coba praktekkan didalam organisasi kita.
Contohnya lagi ni, didalam organisasi bahwa didalam pancasila ada kata keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia di sila kelima tersebut, nah krn kita menjunjung yang namax kemanusiaan dan keadilan berarti kalau ada sebuah kebijakan atau program kerja yang diabangun oleh pemerintah hanya menguntungkan bagi segelintir orang yaa kita harus tolak hal demikian”,
“Waaah sangat mulia juga organisasi mu, semangat ya semoga kau nanti bisa mewujudkan hal-hal yang demikian, amin” kata gadis berkerudung tersebut
Tiba tiba terdengar dari arah depan suara motor matic yang dikendarai oleh rezky dan mely mereka berdua tertawa terbahak-bahak dan sesekali mengeluarkan kata-kata tak ada yang tau apa yang mereka katakan hanya kedua lelaki itu yang mengerti apa yang mereka bahas dan tertawakan wajah cerah kedua gadis itu pun sangat jelas dan pada akhirnya kedua gadis itu berhenti didepan taming dan turun dari motor.
“Hai kalian, maaf ya klu aku kelamaan, soalnya mila adikmu ming, banyak cerita”
“Cerita soal apa?” Tanya taming
“katanya sih keluarganya jabbar, kalau jabbar belum juga pulang-pulang kerumah, kuat prediksi dikalau jabbar diculik di rumah sakit” tutus rezky menjelaskan
Tiba-tiba dari atah barat muncullah Jond berlari seperti orang kesurupan dan berteriak-teriak
“Ming, taming, 4x” teriak jon tersebut sembari berlari menuju kearah mereka
Ada apa Jon sahut mely dengan lembut.
“Gini kawan-kawan jabbar hilang diculik oleh oknum yang tidak betanggung jawab, polisi tadi banyak dirumahnya untuk ikut membantu pencarian”
“Waaaa gawat kalau begitu?” Ucap taming.
“Kita harus cepat-cepat kesana kalau begitu”. Kata rezky
Semua kelompok yang sekawan dengan jabbar diseluruh penjuru menghabiskan waktunya untuk menjari jabbar yang telah terculik, dari sore itu sampai malam dan malam sampai pagi berlanjut trus...
Tiba-tiba terdengar kabar kalau Jon tak sadarkan diri berhubung kakinya dimakan oleh anjing gila disungai bolbatu saat mencari jabbar yg diperkirakan si jabbar kesana, berhubung ada seorang saksi mengatakan bahwa jabbar penah disana waktu magrib bersama orang yang tak dikenal hal inilah yang mendorong jon kesana tapi ternyata bukan jabbar yang ditemuinya tapi si anjing gila yang sedang  kelaparan sehingga jon menjadi makanan malam si anjing gila tersebut, pupuslah harapan keluarga melihat kondisi jon yang kehilangan kaki JON yang tidak juga sadarkan diri. Tepat pada pukul 17 :00 sore semua keluarga besar sekawan jon hadir melihat kondisi Jon tapi tak ada satu kata pun yang keluar semua diam. 3 hari setelah kedatangan anggota sekawan jon terdengar suara dari masjid bahwa jon telah menutup usianya yang masih muda itu. Duka tentu tak dapat disembunyikan hari itu mendung matahari tertutupi dengan kabut,
Semua masyarakat menghantarkan sampai ke per-istirahatan terakhirnya dengan wajah sedih, tiba-tiba ada seoarang datang memberikan kabar bahwa ditempat yang sama ada baju ditemukan di tempat jon termakan oleh anjing gila tersebut, yang parahnya baju tersebut dipastikan adalah baju si jabbar, baju merah oblong,
Pas setelah acara pemakaman terlah berlalu maka si taming bersama dengan kawan-kawanya berangkat langsung ketempat kejadian tampa perlu untuk mengganti pakaianya, untuk memastikan kebenaran tersebut... dan ternyata ditempat yang sama si jon digigit anjing beracun disana juga ditemukan sebuah baju yang memang seperti dengan pakaian jabbar.
“Astaga tidak salah lagi ini, ini baju jabbar ming”, teriak milah sambil memperlihatkan dan mengangkat baju tersebut,
“Tidak 3x “kata ekky seakan-akan tidak mau percaya dengan kenyataan.....


BERSAMBUNG

Untuk episode Ke Tiga ini Penulis akan berusaha untuk terus membuat gebrakan membuat cerita menarik ini semakin berkembang luas, cerita ini menggambarkan tentang kondisi desanya dan masyarakatnya tentang kontradiksi-kontradiksi yang dihadapai di masyarakat ini. semoga dalam Episode 3 sumur merah ini para penggila cerita ini dapat sabar dan memberi penulis kesempatan yang seluas-luasnya untuk bekerja menyelesaikan cerita ini
atas nama keluarga besar mengucapkan selamat menanti semoga kesabaran kita masih ada
 
(c) Copyright Amarah | About | Contact | Policy Privacy