Mahalnya Biaya Kuliah Sebagai Konsekuensi Kebijakan Neoliberalisme: Studi Kasus Universitas Indonesia

Browse » Home » » Mahalnya Biaya Kuliah Sebagai Konsekuensi Kebijakan Neoliberalisme: Studi Kasus Universitas Indonesia

Mahalnya Biaya Kuliah Sebagai Konsekuensi Kebijakan Neoliberalisme: Studi Kasus Universitas Indonesia

TULISAN mengenai biaya pendidikan yang ditulis Rio Apinino dan Dicky Dwi Ananta,[1] dan kemudian mendapatkan respon cepat dari saya[2] telah mendorong Badan Kelengkapan MWA UI Unsur Mahasiswa 2014 untuk melakukan kajian khusus mengenai kebijakan biaya pendidikan. Kajian ini digarap oleh Rizki Baiquni Pratama, Arya Adiansyah dan Emma Septian.[3]Diskursus ini akan kembali saya lanjutkan, dengan melempar pertanyaan terkait posisi mahasiswa terhadap kepentingannya yang paling dasar selama aksesibilitas terhadap pendidikan sebagai hak setiap warga negara, pendidikan tinggi sebagai instrumen perubahan sosial dapat diperjuangkan dan dipertahankan, sementara kebijakan-kebijakan yang diberlakukan dalam pendidikan tinggi berada dalam logika neoliberalisme yang sejatinya bertentangan?
menempuh jenjang pendidikan tinggi. Apakah mahasiswa dapat mempertahankan wacana bahwa pendidikan adalah hak asasi bagi semua orang, yang kemudian juga berlaku di level pendidikan tinggi? Bagaimana isu-isu mendasar semisal

Konteks Kebijakan Struktural
Sebagai konsekuensi atas penerapan ideologi neoliberalme, IMF dan World Bank meluncurkan paket kebijakan untuk menyokong pendidikan tinggi di negara-negara berkembang. Indonesia termasuk salah satu negara yang mengalami penyesuaian struktural tersebut, yang salah satunya ditandai dengan reformasi paradigma di periode 1994-2010. Pada Mei 2005, Indonesia sebagai anggota WTO, terpaksa harus menandatangani General Agreement on Trade Service (GATS) yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, antara lain layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya.[4]
Dibukanya pendidikan tinggi ke pasar bebas, tentu saja bertujuan menghasilkan sumber daya manusia yang kompetitif di pasar tenaga kerja global. Liberalisasi pendidikan tinggi ini memiliki semangat untuk menciptakan pendidikan yang melampaui batas-batas negara-bangsa (internasionalisasi). Untuk mendukung hal tersebut, praktik kebijakan yang ditempuh pemerintah adalah dengan tidak menghambat (non-intervensi) pengambilan keputusan di level pendidikan tinggi.
Privatisasi pendidikan tinggi, menurut Levin[5] adalah pendidikan tinggi yang pengelolaannya terlepas dari kontrol pemerintah, baik tujuannya untuk mencari profit ataupun tidak. Privatisasilah yang kemudian menjadi refleksi dalam merumuskan dan menetapkan berbagai kebijakan pendidikan. Universitas diberi otonomi penuh untuk mengelola sumber dayanya seiring intervensi pemerintah yang semakin minim. Kondisi ini berimplikasi pada keharusan universitas untuk mengelola pendanaannya sendiri. Di Indonesia, paling tidak, harapannya adalah porsi ketergantungan universitas pada anggaran pemerintah menjadi lebih berkurang.
Pendidikan tinggi sebagai sebuah komoditas adalah sebuah keniscayaan. Artinya universitas perlu ‘menghidupi’ dirinya sendiri melalui pemaksimalan potensi ventura ataupun pembukaan program studi yang sedang populer (baca: dibutuhkan dalam industri). Hal tersebut sebagai cara untuk mendatangkan profit yang dapat digunakan untuk pengelolaan universitas. Inilah yang kemudian dinamakan sebagai komersialisasi pendidikan tinggi. Di titik otonomi yang paling ekstrem, pendidikan tinggi dijadikan sebagai suatu perusahaan yang murni ditujukan untuk mencari keuntungan.

Meninjau Sistem Biaya Pendidikan di Universitas Indonesia
Mahasiswa Universitas Indonesia, dari angkatan 2010 hingga 2014 kini tentu lazim dengan tiga sistem pembayaran di UI. Tiga jenis pembayaran tersebut yaitu penuh, cicil, dan BOP-Berkeadilan. Kondisi yang tentu berbeda dengan kondisi di tahun 2008 saat sistem BOP-B lahir. Ketika itu, BOP-B menjadi satu-satunya sistem pembayaran di UI.
BOP-B adalah mekanisme pembayaran yang lahir karena adanya penyesuaian (kenaikan) biaya pendidikan di UI pada tahun 2008. Hal ini tidak lepas dari perubahan status UI dari Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang kemudian diubah kembali menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH). UI yang awalnya mendapat sokongan dana dari pemerintah kini harus mengelola keuangannya sendiri. Sejak tahun 2004, UI meluncurkan paket kebijakan terkait pembiayaan pendidikan yang harus dibayarkan oleh mahasiswa. Pada tahun 2008, biaya pendidikan yang harus dibayarkan oleh mahasiswa mengalami penyesuaian (kenaikan). Alasannya dikarenakan UI kekurangan suntikan dana untuk tetap menjalankan pengelolaannya.
Sebelum tahun 2008, UI menerapkan standar tunggal biaya pendidikan di UI untuk seluruh mahasiswa yakni 1,75 juta rupiah per semester yang disertai dengan mekanisme keringanan bagi yang tidak mampu. Sementara BOP-B adalah mekanisme pembayaran di mana mahasiswa membayar sesuai dengan kemampuan bayar penanggung, dengan melengkapi berkas tertentu untuk menentukan besaran yang harus dibayar. Kisaran yang ditetapkan oleh UI adalah 0 – 5.000.000 rupiah untuk rumpun sosial humaniora dan 0 – 7.500.000 untuk rumpun kesehatan dan sains teknologi. Tetapi, mulai dari tahun 2009 hingga kini, BOP-B tidak lagi menjadi satu-satunya sistem pembayaran. UI memberlakukan tiga jenis mekanisme pembayaran, termasuk BOP-B yang kemudian diubah sebagai paket subsidi. Yang mana hanya mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi yang boleh mengajukan permohonan pembayaran melalui BOP-B.
Tahun 2012, pemerintah mengesahkan UU No12/2012. Pasal 88 undang-undang tersebut mengamanatkan pemerintah untuk menerapkan suatu standar tertentu biaya operasional pendidikan tinggi dan sistem pembayaran biaya pendidikan bagi mahasiswa. Amanat ini sekarang kita kenal sebagai Uang Kuliah Tunggal (UKT). Sebelum menerapkan UKT, pemerintah terlebih dahulu menerbitkan Surat Edaran Dikti Nomor 488 E/T/2012 dan surat Edaran Dirjen Dikti Nomor 97 E/KU/2013 yang keduanya mengatur tentang pelaksanaan sistem UKT untuk PTN dan penghapusan uang pangkal bagi mahasiswa baru tahun akademik 2013/2014.
Di UI, sistem UKT tampak di mana mahasiswa tidak lagi membayar komponen biaya operasional pendidikan secara terpisah semisal membayar per SKS, uang praktek, ujian, dan sebagainya. Tetapi dalam mekanisme penetapan kisaran, UI menerapkan kebijakan BOP-B yang mana kisarannya ditetapkan melalui berkas, dan angkanya bisa berbeda dengan angka kisaran yang ditetapkan oleh DIKTI. Sebabnya UKT versi Dikti ‘hanya’ mencocokkan pendapatan/pekerjaan penanggung biaya dengan kisaran (atau yang lazim pula disebut dengan golongan), yang sarat dengan indikator kualitatif; seperti surat pernyataan kepala RT dan/atau tetangga, ‘cerita’ pengaju BOPB tentang kondisi keluarga dan sebagainya.
Tahun depan, kondisinya barangkali akan berbeda. Rektor UI, Muhammad Anis pada suatu kesempatan menyatakan bahwa batas atas kisaran yang akan diterapkan oleh UI akan naik. Kenaikan ini sebagai respon penyesuaian dengan sistem UKT versi Dikti, yang ‘dikuatkan’ dengan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 73 Tahun 2014. Dalam lampiran peraturan ini, disebutkan bahwa biaya kuliah tunggal Universitas Indonesia untuk rumpun sosial rerata mematok biaya sebesar 6.093.000 rupiah, sedangkan untuk rumpun eksakta beragam dari angka 7.799.000 rupiah sampai dengan 15.232.000 rupiah.
Alasan lain kenaikan batas atas kisaran didasarkan pada asumsi bahwa UI ‘disudutkan’ oleh universitas-universitas lainnya, terutama yang berstatus Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH). UI dianggap masih mematok harga yang lebih murah untuk pendidikan tinggi dibanding PTN-BH lain. Contoh kasus Fakultas Kedokteran UI yang dinilai paling murah di antara Fakultas Kedokteran dari PTN BH lain. Harga murah ditakutkan akan merusak pasar, karena akan menyebabkan calon-calon mahasiswa kedokteran akan berlomba-lomba memilih UI yang memiliki batas kisaran lebih murah namun dengan garansi akan mendapatkan kualitas yang lebih baik. Alasan lain kenaikan tersebut adalah pendapat dari level eksekutif universitas yang menganggap bahwa berlarut-larutnya progres pembangunan fisik di lingkungan UI disebabkan oleh kondisi keuangan UI yang ‘cekak’ sehingga kenaikan dipandang sebagai konsekuensi logis dan solusi untuk menambah pendapatan.

0 komentar:

Posting Komentar

 
(c) Copyright Amarah | About | Contact | Policy Privacy