Pertandingan Piala Dunia 2014 segera akan digelar di 12 kota di seluruh Brasil. Diperkirakan setengah juta turis akan datang membanjiri Brasil. Namun alih-alih perayaan dan sukacita nasional di negeri dengan tradisi sepakbola yang membanggakan, malah terdapat tekanan sangat besar seiring dengan dimulainya Piala Dunia.
Seluruh negeri ini telah diguncang oleh gelombang pemogokan dan demonstrasi dari berbagai seksi kelas buruh yang mengajukan keluhannya menjelang turnamen Sepakbola. Tuntutan-tuntutan kenaikan upah telah membawa pada pemogokan-pemogokan di berbagai sektor, dari para sopir bus, polisi, operator kereta, hingga para guru, dan menyeret kota-kota besar ke dalam kekacauan dan kemacetan.
Pemuda, buruh-buruh tunawisma, rakyat adat, dan kaum miskin kota di favela[1] juga telah mengorganisir protes-protes. Pemborosan dan kemewahan Piala Dunia sangat kontras dan berbanding tajam dengan kemiskinan dan memburuknya pelayanan-pelayanan publik yang dibutuhkan rakyat. Ini telah menciptakan kegeraman di masyarakat Brasil. Rakyat menentang kemunafikan yang terang-benderang ini; jika ada 14 miliar dolar untuk stadion dan pendanaan-pendanaan lainnya terkait Piala Dunia 2014, mengapa pemerintah menolak mendanai transportasi, kesehatan, pendidikan, dan upah yang lebih layak untuk para buruh?
Ketidakbecusan para pejabat dalam pembangunan stadion dan proyek infrastruktur yang telah ditunda atau dibatalkan telah mengakibatkan pembengkakan biaya sekaligus kematian para buruh konstruksi. Ini semakin mendiskreditkan pemerintahan Brasil. Presiden Dilma dan koalisinya dihinggapi kepanikan yang sangat nyata menjelang turnamen ini.
Demonstrasi-demonstrasi dan pemogokan-pemogokan kali ini meledak satu tahun setelah perjuangan yang mengguncang Brasil pada musim panas 2013. Demonstrasi-demonstrasi tahun lalu yang awalnya dipicu oleh kenaikan tarif bus sebanyak 20 cenvatos merupakan gelombang demonstrasi terbesar semenjak jatuhnya kediktatoran militer di Brasil pada tahun 1985. Tahun kemarin demonstrasi-demonstrasi ini menyaksikan lebih dari sejuta rakyat untuk turun ke jalan pada tanggal 17 Juni.
Gerakan-gerakan sekarang hanya bisa dipahami sebagai kelanjutan perjuangan tersebut. Sebuah demonstrasi memang sudah disiapkan pada 19 Juni sebagai peringatan perjuangan tahun yang lalu. Banyak tuntutan yang diajukan saat itu -- pendanaan transportasi publik, pendidikan, dan layanan kesehatan -- juga diusung hari ini.
Apa yang seharusnya menjadi “Hari di Bawah Sinar Matahari” Brasil telah berubah menjadi kebalikannya bagi kelas penguasa Brasil dan Dilma ROusseff. Perayaan-perayaan Piala Dunia 2014 justru telah menjadi titik pusat dari semua kemarahan dan rasa frustrasi rakyat Brasil.
Piala Dunia untuk Siapa?
Penyelenggaraan Piala Dunia 2014 oleh Brazil sebagai tuan rumahnya awalnya diharapkan untuk mencerminkan kebangkitan Brasil sebagai salah satu kekuatan ekonomi baru. Akan tetapi, pertumbuhan ekonomi ini tidak dinikmati oleh semua rakyat. Brasil merupakan salah satu negara dengan kesenjangan paling tinggi di muka bumi. Ada dua Brasil; satu untuk kaum kaya raya yang meraup dan menikmati porsi besar pertumbuhan kekayaan di Brasil; yang satu lagi adalah Brasilnya kelas buruh yang terbengkalai.
Letupan-letupan sosial merupakan cerminan kenyataan yang kontras ini. Contohnya, tiap langkah yang diambil pemerintah Brasil adalah untuk menyenangkan bos-bos FIFA. Apapun yang mereka tuntut terkait pendanaan, spesifikasi, infrastruktur, dan pengaturan-pengaturan, sepenuhnya dikabulkan. Sementara permasalahan-permasalahan rakyat justru diabaikan, dan hajat hidup rakyat terus-menerus merosot.
Sementara turis-turis kaya dan tokoh-tokoh politik dari seluruh dunia diberi keamanan tingkat tinggi dengan ongkos sekitar 860 juta dolar, massa rakyat di sisi lain berada dalam kondisi terus menerus terancam oleh kekerasan dan tindak kriminal. Seluruh lingkungan telah dicerabut, digusur, diusir, dan rumah-rumah diratakan demi pembangunan.
Setiap hak demokratik rakyat tengah dirampas untuk memenuhi ekspektasi FIFA. Sebanyak 100.000 aparat polisi dan 60.000 tentara telah dimobilisasi untuk menyediakan keamanan selama Piala Dunia 2014 dan untuk merepresi para demonstran. Sebagai tambahan sebanyak 20.000 aparat keamanan swasta telah disewa untuk menjaga berbagai stadion dan fasilitas Piala Dunia.
Seluruh favela (kampung-kampung kumuh) telah diduduki oleh “unit-unit penertib” polisi dan militer. Salah satu contohnya adalah Mare Favela yang terletak di pusat kota Rio de Janeiro yang merupakan rumah bagi 130.000 kaum miskin kota Brasil. Mare Favela telah diduduki oleh sebanyak 2.700 tentara menjelang dan selama Piala Dunia 2014.
Kita cukup menyoroti harga tiket pertandingan sepakbola ini, yang harganya dari 300 dolar hingga 6000 dolar. Mayoritas rakyat Brasil hidup dengan upah per bulan di bawah 215 dolar dan tidak bisa bermimpi membeli tiket-tiket itu. Fakta bahwasanya sepak bola menduduki posisi sangat penting dalam budaya Brasil membuat kenyataan ini semakin terasa melecehkan.
Sebuah lukisan mural yang menggambarkan seorang bocah kurus duduk di meja makan dan menangis karena hanya bola sepak yang disajikan di atas piring, dengan cepat beredar luas di internet. Sentimen massa juga tercermin dalam slogan popular bahwasanya semua rakyat Brasil sepantasnya hidup dalam kondisi-kondisi “sesuai standar FIFA”. Beberapa bulan terakhir dukungan rakyat terhadap turnamen ini telah merosot drastis. Menurut jajak pendapat Pew Research Centre, sebanyak 61 persen rakyat Brasil yakin bahwasanya menyelenggarakan Piala Dunia 2014 merupakan gagasan buruk karena menyedot sumber-sumber yang harusnya bisa dipakai untuk layanan-layanan publik, sedangkan sebanyak 72 persen tidak senang dengan situasi di Brasil. Massa rakyat bertanya: semua ini untuk siapa?
Buruh Memasuki Gelanggang
Situasi ini telah mendorong para buruh untuk mendorong tuntutan-tuntutan mereka untuk kenaikan upah dan kondisi-kondisi kerja yang lebih layak. Para buruh menolak menerima pembatasan-pembatasan legal dan larangan pengadilan terhadap hak buruh untuk mogok dan berdemonstrasi selama Piala Dunia. Uang yang dihamburkan untuk mendanai Piala Dunia sudah jelas di hadapan rakyat. Sentimen di antara buruh adalah: atas dasar apa pemerintah menolak tuntutan-tuntutan kami?
Pemogokan-pemogokan telah menyebar ke seluruh penjuru Brasil. Di Sao Paolo ada aksi mogok guru, buruh-buruh metro, dan para sopir bus. Hal ini telah menciptakan bencana kemacetan di kota terbesar Brasil, yang semakin parah karena polisi lalu lintas (polantas) Brasil juga mogok!
Para guru, insinyur, dan satpam-satpam bank juga mogok. Selain itu juga terdapat pemogokan militan oleh para sopir bus di Rio. Sedangkan di Salvador, para polisi dan sopir bus juga mogok. Kemudian di Belo Horizonte, ribuan pegawai kotamadya, termasuk buruh-buruh sampah dan kebersihan juga mogok sejak bulan Mei. Tak ketinggalan di Recife, para polisi dan pemadam kebakaran juga mogok. Banyak juga protes dan demonstrasi dari para polisi militer beserta keluarga mereka yang menuntut kenaikan uang pensiun.
Saat ini terdapat sekitar 60 aksi buruh. Sedangkan pemogokan polisi telah menyebar ke 14 negara bagian, termasuk enam kota tuan rumah pertandingan Piala Dunia 2014. Tak ketinggalan, sekitar empat juta buruh juga tengah melakukan negosiasi kontrak.
Para buruh bandara dan para pilot juga mengancam akan melakukan aksi mogok selama pekan-pekan berikutnya. Para polisi federal dan negara bagian, termasuk para petugas imigrasi, juga mengancam mogok dan menyatakan menolak putusan pengadilan yang melarang mogok selama Piala Dunia 2014.
Selain gerakan buruh, terdapat mobilisasi-mobilisasi signifikan sektor-sektor rakyat lainnya. Di Sao Paulo terdapat demonstrasi 25.000 orang yang digelar oleh Gerakan Buruh Tunawisma yang bergerak menduduki tanah dan menuntutnya digunakan untuk perumahan rakyat. Pada 27 Mei, sebuah demonstrasi yang diikuti 25.000 rakyat adat juga digelar di Brasilia.
Selain itu ada juga kerusuhan-kerusuhan di Favela sebagai respons terhadap pembunuhan oleh para polisi. Di sebuah favela dekat pantai-pantai Copacabana (dimana timnas Inggris akan menginap), kerusuhan-kerusuhan dan bentrokan-bentrokan dengan polisi meletus akibat pembunuhan polisi terhadap seorang penari di lingkungan itu.
Kampus-kampus juga ditutup lebih awal untuk mencegah agar kampus tidak digunakan sebagai pusat pengorganisasian pemuda. Meskipun demikian, terdapat kampanye-kampanye pemuda yang signifikan di berbagai kota, yang meneruskan perjuangan menuntut pendidikan, kesehatan, dan transportasi gratis yang dimulai pada tahun 2013.
Pemogokan Metro dan Represi Negara
Mungkin pemogokan yang paling patut diperhatikan adalah pemogokan Metro di Sao Paulo. Para buruh transportasi mogok pada 5 Juni menuntut kenaikan upah. Metro adalah sarana utama transportasi ke stadion Piala Dunia di kota di mana pertandingan pembukaan akan digelar. Para buruh menolak perintah pengadilan yang menganggap mogok sebagai tindakan ilegal dengan dasar bahwa para buruh menyediakan “layanan esensial”. Serikat buruh juga sudah diganjar dengan denda, yang dinaikkan sebesar 220.000 dolar tiap hari berikutnya bilamana mogok terus berlanjut.
Polisi juga dikerahkan untuk membubarkan pemogokan dengan menggunakan gas air mata, granat cahaya, dan peluru karet. Seorang juru bicara serikat buruh menjelaskan bahwa tiga orang buruh telah cidera dalam serangan polisi. Sebagai responsnya, serikat buruh melanjutkan aksi pemogokan “tak terbatas”. Altino Melo dos Prazeres, presiden serikat buruh, bahkan mengancam “kalau pemukulan terus berlanjut, kami akan menghubungi semua sektor buruh. Kalau orang-orang kami berdarah, kami akan minta bantuan dari para buruh metal, dari para pekerja bank, dan akan mengobarkan pemogokan massa pada pembukaan piala dunia”.
Pemogokan itu sendiri telah menarik dukungan signifikan dan solidaritas di Sao Paulo, yang melibatkan berbagai organisasi gerakan sosial termasuk Gerakan Rakyat Tak Bertanah (MST) yang bergabung dengan para buruh metro dalam demonstrasi-demonstrasinya.
Para buruh jelas semakin berani karena sentimen kegeraman massa dan mobilisasi massa rakyat. Pelambatan ekonomi selama dua tahun terakhir telah menciptakan ketidakpastian secara signifikan. Pemerintahan Partai Buruh (PT) Dilma Rousseff telah menyatakan dengan jelas niatannya untuk menerapkan pemotongan anggaran. Selain itu, inflasi tahunan mencapai lebih dari enam persen dan secara terus menerus menggerogoti upah buruh.
Situasi ini mendorong radikalisasi dan tumbuhnya semangat militansi di antara buruh. Mereka dengan tepat merasakan bahwa merekalah yang dipaksa membayar krisis kapitalis dan perlambatan ekonomi di Brasil, dan karena itu merasakan perlu mempertahankan diri. Para buruh telah menyaksikan kemunafikan pemerintah yang menghamburkan uang untuk mendanai Piala Dunia namun menolak konsesi menaikkan upah buruh, dan mereka merasa mereka punya tuas tambahan dalam melakukan aksi industrial sekarang.
Respons pemerintahan Dilma Roussef adalah memiliterisasi masyarakat Brasil secara efektif dengan pendanaan keamanan secara masif. Ini berarti penggunaan semua cara legal untuk melarang demonstrasi dan pemogokan. Ini berarti pendudukan militer terhadap berbagai favela. Perintah-perintah pengadilan terus menerus dibuat dan menyatakan berbagai pemogokan ilegal dan mengancam denda terhadap berbagai serikat buruh. Termasuk di dalamnya adalah kampanye intimidasi dan represi terhadap organisasi-organisasi sayap kiri, seperti kaum Marxis Brazil yang tergabung dalam Esquerda Marxista, yang didatangi oleh Polisi Militer dan kantor mereka juga dibom.
Meskipun demikian tidak satu pun dari hal ini yang bisa menahan gerakan. Langkah-langkah demikian justru malah mengekspos Dilma Rousseff dan Partai Buruh (PT) yang berkuasa serta hanya membuat marah dan memberanikan para buruh dan pemuda untuk maju. Harus diingat bahwa justru respons tindakan brutal polisi terhadap demonstrasi anti kenaikan ongkos bus pada musim panas 2013 yang menyebabkan suatu gerakan yang relatif kecil pada awalnya menjadi sangat besar dan menuai dukungan rakyat.
Buruh-buruh Bergerak Melampaui Para Pimpinan Reformis
Pemerintah PT yang berkuasa semakin terdiskreditkan di mata kelas buruh. PT adalah partai yang secara historis terhubungkan dengan gerakan serikat buruh. Lula da Silva, pemimpin PT sebelumnya sekaligus presiden Brazil lalu, adakah seorang buruh metal dan aktivis serikat.
Namun politik kolaborasi kelas dan kebijakan reformis para pimpinan PT membawa mereka dari satu pengkhianatan ke pengkhianatan yang lain. Pembiayaan Piala Dunia yang berlebihan dan penerapan hukum-hukum anti demokrasi serta represi pesanan gangster FIFA hanyalah merupakan pengkhianatan lain dan terbaru dari para pimpinan PT. Selama beberapa tahun belakangan ini PT menerapkan privatisasi aset-aset negara dan pemberian kontrak-kontrak yang menguntungkan dalam sektor sumber daya untuk perusahaan-perusahaan multinasional. Kesenjangan meningkat tinggi ketika PT berkuasa.
Kaum muda juga banyak yang merasa marah dan kecewa terhadap para pimpinan PT. Partai ini bertanggungjawab dalam pengerahan Polisi Militer untuk memukuli dan menembaki para demonstran dengan gas air mata selama gerakan massa yang dipicu oleh kenaikan ongkos bus tahun lalu. Sentimen kemarahan terhadap PT dan Presiden Dilma kini menyebar lebih luas ke kelas buruh dan gerakan buruh terorganisir.
Presiden Dilma dan kepala FIFA, Sepp Blater, telah mengumumkan bahwa mereka tidak akan membacakan pidato pada upacara pembukaan Piala Dunia 2014. Mereka takut akan dihujak dan dicaci maki oleh penonton (sebagaimana yang terjadi pada Piala Konfederasi setahun lalu). Ini akan menjadi yang pertama kalinya dimana upacara pembukaan Piala Dunia tidak menyertakan pidato oleh kepala negara. PT yang berkuasa mendiskreditkan dirinya sendiri dengan melindungi kepentingan kaum kaya. Hal ini berujung pada membesarnya tekad buruh untuk memasuki arena perjuangan, termasuk perjuangan melawan PT itu sendiri.
Terdapat kebutuhan mendesak untuk menyatukan perjuangan kelas buruh dan kaum muda. Alih-alih demonstrasi dan pemogokan yang terpisah, dibutuhkan persatuan perjuangan yang akan membawa ratusan ribu atau bahkan jutaan rakyat untuk memperjuangkan kenaikan upah dan transportasi publik, kesehatan, serta pendidikan gratis. CUT (Sentral Persatuan Buruh) mewakili sekitar 7,5 juta buruh dan memiliki kekuatan sosial sangat besar yang bisa digunakan. Seruan-seruan para buruh metro di Sao Paolo sepenuhnya tepat. Pemogokan satu hari penuh dibutuhkan untuk menentang penurunan upah riil, pemotongan anggaran, dan langkah-langkah represif dan anti-demokrasi.
Bagaimanapun juga para pimpinan CUT sendiri terikat pada politik reformis PT dan saat ini hanya punya perspektif kolaborasi dengan para majikan. Aliansi PT dan CUT dengan partai-partai dan organisasi-organisasi kapitalis adalah penghalang besar bagi majunya perjuangan buruh dan rakyat pekerja lainnya di Brasil saat ini.
Kapitalisme dalam Krisis – Brasil di Tepi Jurang
Periode kemajuan besar ekonomi sebelumnya berarti bahwa pemerintahan PT di bawah Presiden Lula saat itu bisa menawarkan konsesi-konsesi bagi para buruh. Kontrak-kontrak kerja pada umumnya memberikan kenaikan upah sementara program-program kemiskinan mengentaskan jutaan orang dari kemiskinan. Hal ini kemudian menimbulkan stabilitas sosial dan naiknya popularitas Lula.
Dari tahun 2004 sampai 2008, tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar lima persen. Meskipun ada penurunan sedikit selama tahun 2009 sebesar 0,3 persen akibat kolapsnya sektor finansial, Brasil berhasil melambung kembali ke tingkat pertumbuhan sebesar 7,5 persen di tahun 2010. Banyak komentator mainstream yang menggambarkan Brasil sebagai suatu keajaiban ekonomi.
Namun sejak saat itu tingkat pertumbuhan telah anjlok di bawah dua persen dan diperkirakan turus menurun. Keajaiban Brasil telah menjelma jadi mimpi buruk. Pasar-pasar ekspor, khususnya Tiongkok, Eropa, dan AS mengalami perlambatan, dan ini berdampak pada perekonomian Brasil. Tidak hanya Brasil, semua negeri yang digadang-gadang sebagai “ekonomi-ekonomi yang bangkit” di BRICS dan lainnya telah mengalami keanjlokan drastis dalam pertumbuhan ekonomi selama beberapa tahun terakhir.
Keanjlokan ekonomi berarti bahwa basis material yang memungkinkan konsesi-konsesi untuk kelas buruh telah menyempit secara signifikan. Pengangguran meroket. Pertumbuhan di Brasil juga bergantung pada ekspansi kredit. Hutang pemerintah dan rumah tangga sangatlah tinggi. Oleh karena ini kebijakan utama Dilma adalah menyeimbangkan anggaran.
Alih-alih konsesi, PT akan terpaksa menjalankan pemotongan anggaran dan pengangguran dan biaya hidup akan naik bila PT menolak putus dengan kapitalisme. Inilah logika reformisme di era krisis kapitalis. Kalau kita menerima sistem kapitalis maka kita harus mengelola krisis, dengan kata lain: menyerang kelas buruh. Serangan-serangan inilah yang menjelaskan semakin membesarnya ketidakpercayaan dan kemarahan terhadap para pimpinan PT.
Sebuah jajak pendapat terkini menunjukkan bahwa 84 persen rakyat Brasil memandang Lula, presiden sebelumnya, secara positif. Bagaimanapun juga Dilma yang sebentar lalu cukup menikmati popularitas serupa kini dipandang positif hanya oleh 48 persen responden. Krisis kapitalis menunjukkan ketidakmampuan reformisme untuk melindungi kelas buruh dan malah mendorong para pimpinan reformis berbentrokan dengan para buruh. Penggunaan represi negara oleh PT selama beberapa hari terakhir (dan di musim panas lalu) terhadap serikat-serikat buruh dan pemuda merupakan ekspresi yang tak terbantahkan.
Peristiwa-peristiwa ini menimbulkan dampak mendalam terhadap kesadaran massa rakyat Brasil. Pemuda dan semakin banyak lapisan dari buruh semakin teradikalisasi. Protes ini bila dibandingkan dengan protes tahun lalu punya perbedaan kunci, yaitu masuknya kelas buruh ke gelanggang perjuangan. Ini adalah peringatan akan apa yang akan datang di masa depan.
Sementara para buruh pasti berpartisipasi dalam gerakan di tahun 2013, kelas buruh tidak memasuki perjuangan saat itu dengan cara yang terorganisir. Keterlibatan serikat-serikat buruh yang kuat, yang melakukan aksi mogok kolektif, kini memberikan watak kelas buruh yang jelas pada gerakan ini. Ini menciptakan kemungkinan bagi gerakan untuk semakin bertambah kuat dan semakin maju lebih lanjut. Perjuangan historis yang dimulai pada tahun 2013 kini bergerak ke suatu tingkat baru.
NB: Para buruh Metro di Sao Paolo menunda mogok mereka hari ini (10 Juni) untuk memberi kesempatan pada negosiasi-negosiasi. Serikat telah mengumumkan bahwa aksi mogok akan dilanjutkan pada Kamis jika tuntutan kenaikan upah tidak dipenuhi.
Diterjemahkan dari “FIFA World Cup – Protests and Strikes in Brazil”, Farshad Azadian, 10 Juni 2014 dari In Defence of Marxism. Diterjemahkan oleh Bumi Rakyat.
0 komentar:
Posting Komentar