Aktivis dan Perlawanan Lokal

Browse » Home » , , , , , , » Aktivis dan Perlawanan Lokal

Aktivis dan Perlawanan Lokal

Gerakan perlawanan rakyat semakin hari semakin terbenam, sementara cengkraman kapitalisme dan kekuasaan penyelenggara negara yang menindas terus berganti rupa dan semakin mendapat bentuknya yang matang. Siapa dan dimanakah sebenarnya rakyat itu berada? Ketika tumpukan kertas dan kwitansi
menjualnya di laci-laci para korporasi dan lembaga donor yang konon berniat mulia membantu keberlangsungan demokrasi.
Sebuah ketabuan pada masa Soeharto; elit politik dan birokrasi terjun ke kampus-kampus, apalagi sampai memberi dukungan moral dan uang kepada para mahasiswa yang akan membawa petaka bagi keberlangsungan kekuasaan. Lihat sekarang. Mereka begitu piawai memainkan isu, seolah-olah merangkul para aktivis kampus. Ini persis seperti cara neoliberalisme bersekutu dengan kekuatan lokal untuk merampas hak-hak warga negara.
Di Bandung misalnya, masyarakat miskin semakin tak punya pilihan dan tak berkuasa atas hidupnya. Si orang gunung yang jauh di utara kota, kini tak tentram lagi. Dia terdesak oleh keinginan para saudagar kaya yang bermimpi hidup di gunung dengan kemewahan. Dibangunlah hotel dan villa-villa atau perumahan elit lengkap dengan restoran mahal dan pusat perbelanjaan. Si miskin tak punya pilihan, sebab negosiasi dilakukan oleh para penguasa lokal. Dia pergi ke kota dengan secuil uang ganti rugi yang tak bisa mengganti hidupnya saat di desa. Di bagian selatan kota, dimana sawah-sawah berada sudah diduduki oleh pabrik-pabrik yang tidak tahu etika pembangunan dan meremehkan keselamatan lingkungan. Banjir melanda kawasan penduduk miskin, air tanah disedot habis. Warga kehilangan sumber hidupnya.  Dimanakah peran penyelenggara negara, kalau untuk air saja rakyat harus beli?
Lembaga-lembaga demokratis juga tak bisa diharapkan lagi. Mereka sudah dijejali oleh kepentingan neoliberalisme; produk undang-undang turunan sudah semakin vulgar menampakan penghianatannya pada konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945, seperti Undang-Undang Penanaman Modal Asing, Undang-Undang Perkebunan dan lain-lain.
Di sinilah peran gerakan alternatif itu seharusnya, ketika lembaga-lembaga publik sudah menjadi predator, warga sudah terhempas dari politik legal.
Bagaimana gerakan alternatif itu menggeliat?
Sepuluh tahun setelah kegagalan reformasi, embrio-embrio gerakan yang sudah tumbuh nampaknya lahir prematur. Kondisi itu bisa jadi akibat prustasi. Gerakan kehilangan arah akibat mentahnya ideologi. Rahmat Jabaril seorang aktivis asal Bandung menemui kegelisahan dan kesepian tiada tara. Dia beranjak dari satu komunitas ke organisasi-organisasi kerakyatan. Banyak kawan. Banyak lawan. Namun dia menemukan sebuah kenyataan bahwa sebenarnya rakyat sudah jauh ditinggalkan. Deal politik dan negosiasi menjadi barang murahan yang menyumpal kesadaran. Pada masa pemburuan aktivis oleh rezim kejam Soeharto, dia juga target. Kenyataan-kenyataan itu telah membuat dia mampu membaca situasi ketika itu—sudah tak kaget melihat gelagat tak beres di kalangan aktivis, konspirasi dan penghianatan terbukti dalam waktu singkat, tak perlu menunggu waktu berpuluh-puluh tahun. Tapi sayangnya, itu semua ditutupi hingga berlumut. “Itu seperti korupsi gerakan,” ujar Jabaril. Dia kini turun ke desa-desa, mengadvokasi warga yang terancam digusur oleh pembangunan hotel-hotel, “Kita harus mencari rakyat,” katanya. Belakangan, Jabaril membentuk sebuah forum; Koalisi Masyarakat Bandung Bermartabat atau KMB yang berisi 36 organisasi yang sepakat menolak pembangunan di Babakan Siliwangi. Tapi forum itu meleleh begitu saja. Justru organisasi-organisasi di dalamnya lebih sibuk menjalankan program lain yang didapat justru setelah mereka populer di mata Lembaga Swadaya Masyarakat pendonor setelah bergabung dalam forum itu.
Setelah sepuluh tahun reformasi suara-suara kritis seperti tidak mendapat panggung. Dia hanya menggema di kavling-kavling gerakan itu sendiri. Meminjam istilah Nurhady Sirimorok, seorang peneliti asal Makassar; aktivis dan gerakan seperti binaragawan—melatih otot untuk dipamerkan bukan digunakan untuk kepentingan yang fungsional. Nurhady menyarankan para para aktivis turun ke desa. Melakukan penyadaran dan bergaul dengan masyarakat desa. Sementara menurut Jabaril, ideologi akhirnya menjadi simbolis bukan perilaku. Reformasi bukan hanya gagal, kata Jabaril. Tapi dia juga telah menjatuhkan labirin gerakan ke titik minus. Tak ada perubahan samasekali. Malah memberi kesempatan bagi Orde Baru untuk mengubah muka.
Aksi demostrasi belakangan ini menunjukkan kentalnya sektarianisme di tubuh organ-organ gerakan. Mereka semakin mengeksklusifkan diri dengan bendera-bendera—di luar dirinya, yang lain tak boleh ikut. Memang, aksi unjuk rasa mengindikasikan adanya perlawanan terhadap sebuah kebijakan yang menindas. Tapi jika itu bersifat pragmatis justru akan rentan dimainkan oleh kepentingan yang bertujuan memecah belah. “Kita semua mendukung aksi, tetapi aksi haruslah direncanakan dengan matang, dengan tujuan yang nyata dan objektif bila ingin berhasil. Jika tidak, kita akan berakhir dengan aksi tanpa arah,” kata Phil Mitchinson dalam artikelnya berjudul Marxisme dan Aksi (lihat www.marxist.com).
Hari buruh sedunia, 1 Mei 2008 dibarengi dengan kenaikan bahan bakar minyak untuk kesekian kalinya oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono harusnya menjadi momentum penting dalam gerakan massa. Tapi apa yang terjadi, aksi massa hanya selesai pada tingkatan seremonial atau ritual tahunan. Ini indikasi bahwa belum ada kesadaran massif dan perencanaan yang matang dan terarah. Wawancara saya dengan beberapa buruh yang ikut aksi, memperlihatkan betapa mereka hanya selesai pada keinginan perbaikan upah. Kita akan cukup senang jika upah naik tanpa melihat bahaya dari eksploitasi tenaga kerja. Pengorganisasian buruh disiapkan sebatas memprotes dan turun ke jalan. Tentu kita senang dengan perubahan-perubahan kecil itu dan itu penting, karena itulah yang akan membawa kepada perubahan yang lebih besar. Namun perlu perencanaan dan kematangan dalam setiap tindakan.
Tidak bisa terelakkan bahwa perlawanan-perlawanan lokal terus berkecambah di tingkatan-tingkatan kecil, meski kekuasaan dan sistem terus membasminya. Lihat saja, menjelang pemilihan umum 2009 ketidakpercayaan rakyat terhadap partai politik makin nampak. Wacana golput (golongan putih) ramai dimana-mana. Para elit partai tentu saja tidak senang, mereka merangkul lembaga-lembaga politik untuk memerangi golput, hingga lembaga agama ikut-ikutan mengecam golput dengan argumen-argumen dogmatis.
Forum Aktivis Bandung atau FAB mendeklarasikan diri di penghujung 2008. Ini adalah sebuah respon para aktivis menyikapi pemilihan umum. Melihat banyaknya para aktivis yang masuk ke partai-partai politik, forum ini berkehendak membuat tim sukses bagi mereka para aktivis yang akan naik panggung politik. Tentunya dengan ketentuan-ketentuan tertentu, misal verifikasi dan tahapan-tahapan ujian bagai para calon. Mari kita lihat sejauh mana forum itu dapat mempengaruhi dan mengontrol calon legislator yang diusungnya? Sejauh mana pengaruhnya terhadap keputusan partai politik tempat para aktivis itu bertarung? Bagi Jabaril, itu adalah keputusan yang terburu-buru dan reaksioner yang kita sendiri tidak tahu apa keputusan itu.
Pemilihan umum 2009 ini memang panggung bagi para aktivis selain para artis. Partai-partai politik yang mempunyai sejarah kelam, ramai-ramai merangkul para aktivis, mulai dari aktivis gerakan kiri, aktivis lingkungan hingga aktivis perempuan yang dulu dimusuhi dan ditangkap. Ini tentu saja peluang bagus untuk melakukan perubahan dengan merebut kekuasaan. Tapi bagaimana dengan keputusan-keputusan partai politik yang korup? Bukankah keputusan partai lebih menentukan daripada keputusan personal. Kita memang tidak bisa menilainya dalam waktu singkat.
“Pemilu ini adalah media pengelabuan demokrasi,” kata Jabaril. Rakyat tidak sebenar-benarnya dilibatkan dalam politik. Rakyat diberi janji janji dan sedikit rupiah, disuruh memiliih lalu selesai. Soal partai itu berpihak pada rakyat atau tidak, itu urusan lain, urusan nanti. Kita tidak diberi kesempatan bahkan kesempatan untuk tidak memilih (golput).
Bagaimana dengan gerakan perempuan?
Tamparan keras terhadap gerakan perlawanan perempuan terjadi saat pengesahan undang-undang pornografi tahun lalu. Di Bandung, gelombang aksi perlawanan menentang undang-undang itu terjadi secara besar-besaran. Bahkan jauh sebelum pengesahan, organisasi-organisasi perempuan melakukan kampanye dan diskusi menentang dan berusaha menggagalkan undang-undang itu. Mereka di antaranya; Institut Perempuan, Jaringan Mitra Perempuan dan Jaringan Pekerja Kemanusian. Meski seiiring dengan gelombang perlawanan itu, arus gerakan pendukung juga deras.  Mereka yang menolak menilai pengesahan tersebut sebagai bentuk legitimasi atas pemenjaraan dan pengucilan terhadap perempuan. Sementara yang mendukung meyakini bahwa aturan itulah jawaban atas persoalan moral yang melanda bangsa Indonesia.
Panggung politik juga membuka arena akbar bagi perempuan. Quota 30 persen perempuan jadi dagangan politik—yang penting ada perempuan. Tapi persoalan-persoalan mendasar yang banyak dialami oleh perempuan jarang disentuh; soal kemiskinan, soal perdagangan dan perbudakan perempuan.
Di Amerika Latin, yang mengalami dekade perubahan sosial yang mirip dengan Indonesia, kondisi ini juga terjadi. Tapi gerakan perempuan di beberapa negara di Amerika Latin, mampu memobilisasi dirinya sendiri dan menyumbang perubahan yang berarti bagi kehidupan sosialnya.
Seorang ahli ilmu politik Uruguay, Corina Pereli  mengeritik gerakan perempuan pasca jatuhnya rezim militer di negara itu. Pereli melihat betapa kekuatan perempuan hanya bisa berbagi dengan kaumnya sendiri.
Tidak ada yang berbau politis, setidaknya menurut istilah yang digunakan partai politik, mereka dipersiapkan untuk mengubah keadaan mereka sendiri, bukan untuk mengubah dunia atau menggulingkan rezim. (lihat dalam buku Gerakan Perempuan di Amerika Latin)
Faktanya, gerakan perempuan hanya memperpanjang pencitraan ortodoks, bahwa kaum kita ini hanya bisa bicara sendiri, dan dapat melihat persoalan secara keseluruhan, individualistik seperti peran pribadinya di lingkungan rumah tangga.
Dalam konteks gerakan perempuan saat ini, kita tidak lagi bicara seberapa banyak perempuan yang bisa merebut sektor kerja yang dikuasai laki-laki atau bicara soal hak bicara dan bereskpresi, tapi sudah saatnya kaum perempuan melakukan gerakan perubahan sistemik. Perempuan mengambil langkah politik yang bisa menentukan kebijakan, bukan hanya sub-ordinat dari organisasi-organisasi yang bersifat umum. Gerakan perempuan yang bukan hanya mementingkan eksistensi dirinya, tapi juga sebuah gerakan perlawanan terhadap penindasan manusia.
James C.Scott, seorang ahli ilmu politik asal Amerika Serikat dalam bukunya Senjatanya Orang-Orang yang Kalah, membuka mata kita bagaimana sebenarnya relasi antara aktivis dan penggiat kerja kemanusian dengan konstituennya. Simak kutipan dari Scott berikut ini,
Kegiatan politik formal dan terorganisir, bahkan jika itu klandestin dan revoluisoner, merupakan cara khas kelas menengah serta kaum cendekiawan; mencari cara politik petani dalam bidang ini akan sia-sia belaka. Secara umum kebetulan—ini juga menjadi langkah pertama menuju kesimpulan bahwa kelas petani itu tidak ada secara politik, jika tidak diorganisir dan dipimpin oleh orang luar.
Mengkaji kerisauan Scott, tentu dia tidak sekonyong-konyong menilai bagaimana proses itu berlangsung. Kita lihat kenyataan objektif di sekitar kita. Organisasi buruh misalnya, rata-rata dikomandoi oleh orang di luar lingkaran mereka. Tidak masalah jika dalam proses pengorganisasian buruh itu sendiri menjadi subyek, terlibat langsung dalam perencanaan, analisis dan perngorganisasian termasuk melakukan keputusan-keputusan. Lihat juga perorganisasian petani, dia begitu tergantung kepada sosok atau kelompok yang menghimpun mereka—orang yang di luar kelompoknya.
Menurut Idham Arsyad, ketua harian Perhimpunan Pergerakan Petani Indonesia, secara nasional, organisasi tani juga mengalami perkembangan signifikan ditandai dengan lahirnya organisasi massa tani tingkat nasional, saat ini setidaknya ada lima ormas tani nasional, ada Serikat Petani Indonesia, Aliansi Petani Indonesia, Petani Mandiri, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) dan Serikat Tani Nasional. Semuanya menuntut reforma agraria. Jalannya melalui pendudukan tanah oleh petani. Para penggeraknya berasal dari aktivis, petani hanya diberikan keleluasaan pada tingkatan keputusan internal. Kedudukan sekretaris jendral diserahkan pada petani untuk mengurusi koordinasi di dalam. Sementara posisi tinggi yang berhak memutuskan kebijakan ke luar, diambil oleh si aktivis yang menggerakkan. Nah, apakah petani itu sendiri dilihat sebagai kekuatan politik? Atau kekuatan itu hanya didapat oleh si aktivis yang menggerakannya dan petani hanya obyek tak lebih seperti massa mengambang yang bisa disiapkan kapan saja.
Bagaimanapun kita melihat kekuasaan, sesungguhnya kita juga tengah berkuasa. Bahaya dari kekuasaan yang tak terkontrol itu lebih dasyat ketimbang kekuasaan yang terlihat dan dipantau. Siapa yang akan mengontrol potensi kekuasaan para aktivis? Dia bisa dengan leluasa mengatasnamakan perjuangan kelas atau kerja kemanusiaan. Dia punya pengetahuan lebih mengenai konstituennya yang tak dipunyai pemerintah. Dan dengan pengetahuan dan massa yang mereka anggap sebagai konstituen, dia bisa menekan atau memantau kerja pemerintah. Dia bahkan, hingga tingkatan tertentu, bisa mengontrol pemerintah. Dan di sisi lain, pemerintah tidak begitu bisa mengontrol mereka, hal serupa juga terjadi pada rakyat yang menjadi konstituennya. Lalu siapakah yang bisa mengontrol kerja mereka, setidaknya dalam bentuk kontrol sosial?
Terlontar dari mulut Jabaril, bahwa para aktivis yang berhianat terhadap perjuangan rakyat harus diadili. Terdengar ganjil, tapi itulah cara dia menilai bahaya kekuasaan yang berpotensi dalam diri kita.
Beberapa contoh yang tak bisa saya sebutkan nama pelakunya. Dia menggerakkan petani untuk turun melawan kesewenang-wenangan penyelenggara negara. Dia juga mengadvokasi para petani dengan bantuan lembaga-lembaga non pemerintah atau melakukan penelitian kultural di basisnya. Hasil penelitian itu diserahkan kepada lembaga yang mendanai. Misal; para petani butuh sertifikat tanah untuk mendapatkan kredit lunak. Dibuatkanlah sertifikasi gratis, lalu diberikan pinjaman besar-besaran kepada para petani. Karena proses produksi lamban tak sebanding dengan laju bunga kredit, para petani tak mampu bayar hutang, disitalah tanah mereka dan mereka kehilangan tanahnya.
Kita kaji contoh lain. Pengorganisasian buruh ditekankan pada bagaimana melakukan perlawanan terhadap si pengusaha. Kalau ada pemutusan kerja buruh turun ke jalan atau menuntut upah layak. Poin terpenting dari perjuangan buruh adalah merebut nilai kerja yang dicuri oleh para kapitalis. Itu bisa dilakukan jika kontrol ada di tangan buruh bukan diserahkan pada si kapitalis yang berwatak serakah. Nah, buruh dalam hal ini harus dipersiapkan untuk mengelola hasil produksi, mencari tahu sebesar apa margin yang dicuri oleh para kapitalis, mempelajari sistem manajerial dan lain-lain. Sehingga, perlawanan itu tidak mentok pada tahap demonstrasi dan menyerahkan kekuasaan pada pihak lain.
Ada yang perlu diingat dari bentuk-bentuk perlawanan lokal yang terjadi. Bentuk perlawanan itu mungkin saja dalam skala yang kecil dan tidak berdaya jangkau luas. Tapi itu perlawanan genuin dari kesadaran dia melihat relaitas. Pura-pura malas, memperlambat kerja atau bergosip tentang majikannya yang pelit dan galak. Di masyarakat urban, kemunculan musik-musik alternatif yang kritis atau mengumpat juga bagian dari perlawanan. Atau lihat para pedagang kaki lima yang menolak lapaknya digusur oleh Satuan Polisi Pamong Praja dengan aksi mengelabui para penggusur itu; hari ini jualan, besok tidak, lalu jualan lagi.
Ada baiknya kita menengok bentuk-bentuk perlawanan kecil itu untuk mencari rumusan agar itu dipertajam sehingga bisa berdaya.
“Berhentilah di ranah pragmatis, kembali ke akar rumput,” ujar Jabaril.

0 komentar:

Posting Komentar

 
(c) Copyright Amarah | About | Contact | Policy Privacy