Historis pemberantasan korupsi di indonesia

Browse » Home » » Historis pemberantasan korupsi di indonesia

Historis pemberantasan korupsi di indonesia

ini sengaja ku posting dari blog sebelah dengan harapan imformasi terhadap pemahaman kita tentang kondisi sosial dalam hal ini soal korupsi yg terjadi di indonesia semoga menjadi bahan evaluasi kita untuk menciptakan solusi untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya

Komitmen pemberantasan korupsi merupakan tonggak penting dalam pemerintahan sebuah negara. Di Indonesia, hampir setiap pemilihan kepala negara tak luput dari kesungguhan meneropong apa komitmen yang diberikan oleh calon kepala negara untuk memberantas korupsi. Tak pelak ini terjadi karena korupsi terus terjadi menggerus hak rakyat atas kekayaan negara. Kekayaan negara yang berlimpah, nyaris tak tersisa untuk kesejahteraan masyarakat. Semuanya tergerus oleh perilaku licik birokrat berkongkalingkong dengan para koruptor. Komitmen pemberantasan korupsi ini juga menjadi daya tarik pemilih untuk mencari calon kepala negara yang memiliki komitmen nyata dan memberikan secercah harapan bahwa setiap orang yang berbuat curang pada negara layak diusut sampai penghabisan.

Komitmen kepemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentu masih terngiang dalam pendengaran kita, bahkan mungkin lengkap dengan cengkok gaya bahasa dalam pidatonya yang disampaikan bahwa dirinya akan berada di garda terdepan dalam pemberantasan negeri ini. Rupanya komitmen yang
disampaikan oleh SBY ini bukan barang baru. Pendahulunya, Soeharto pernah menyatakan komitmen yang sama. Saat itu tahun 1970 bersamaa dengan Peringatan Hari Kemerdekaan RI, Soeharto -Presiden RI saat itu- mencoba meyakinkan rakyat bahwa komitemn memberantas korupsi dalam pemerintahannya sangat besar dan ia juga menegaskan bahwa dia sendiri yang akan memimpin pemberantasan korupsi.  
“Seharusnya tidak ada keraguan, saya sendiri yang akan memimpin.”

Tak semudah diucapkan, komitmen pemberantasan korupsi memang berat untuk dilakukan. Berbagai upaya pemberantasan korupsi dicanangkan di setiap periode pemerintahan negara ini. Beberapa referensi menyatakan bahwa pemberantasan korupsi secara yuridis baru dimulai pada tahun 1957, dengan keluarnya Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957. Peraturan yang dikenal dengan Peraturan tentang Pemberantasan Korupsi ini dibuat oleh penguasa militer waktu itu, yaitu Penguasa Militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut.

Di masa awal Orde Baru, pemerintah menerbitkan Keppres No.28 Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Dalam pelaksanaannya, tim tidak bisa melakukan pemberantasan korupsi secara maksimal, bahkan bisa dikatakan hampir tidak berfungsi. Peraturan ini malahan memicu berbagai bentuk protes dan demonstrasi mulai tahun 1969 dan puncaknya di tahun 1970 yang kemudian ditandai dengan dibentuknya Komisi IV yang bertugas menganalisa permasalahan dalam birokrasi dan mengeluarkan rekomendasi untuk mengatasinya.

Masih di tahun yang sama, mantan wakil presiden pertama RI Bung Hatta memunculkan wacana bahwa korupsi telah membudaya di Indonesia. Padahal, lanjut Hatta, korupsi telah menjadi perilaku dari sebuah rezim baru yang dipimpin Soeharto, padahal usia rezim ini masih begitu muda. Hatta seperti merasakan cita-cita pendiri Republik ini telah dikhianati dalam masa yang masih sangat muda. Ahli sejarah JJ Rizal mengungkapkan, “Hatta saat itu merasa cita-cita negara telah dikhianati dan lebih parah lagi karena korupsi itu justru seperti diberi fasilitas. Padahal menurut dia, tak ada kompromi apapun dengan korupsi.”

Banjir Peraturan Pemberantasan Korupsi
Orde baru bisa dibilang paling banyak mengeluarkan peraturan karena masa Orde Baru yang cukup panjang. Namun sayangnya tidak banyak peraturan yang dibuat itu berlaku efektif dan membuat korupsi sedikit berkurang dari bumi Indonesia. Menyambung pidatonya di Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus 1970, pemerintahan Soeharto mengeluarkan UU No.3 tahun 1971 tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi. Aturan ini menerapkan pidana penjara maksimum seumur hidup serta denda maksimum Rp 30 juta bagi semua delik yang dikategorikan korupsi.

Melengkapi undang-undang tersebut, dokumen negara Garis-garis Besar Besar Haluan Negara (GBHN) yang berisi salah satunya adalah kemauan rakyat untuk memberantas korupsi. Namun pelaksanaan GBHN ini bocor karena pengelolaan negara diwarnai banyak kecurangan dan kebocoran anggaran negara di semua sektor tanpa ada kontrol sama sekali.

Organ-organ negara seperti parlemen yang memiliki fungsi pengawasan dibuat lemah. Anggaran DPR ditentukan oleh pemerintah sehingga fungsi pengawasan tak ada lagi. Lembaga yudikatif pun dibuat serupa oleh rezim Orde Baru, sehingga taka da kekuatan yang tersisa untuk bisa mengadili kasus-kasus korupsi secara independen. Kekuatan masyarakat sipil dimandulkan, penguasa Orde Baru secara perlahan membatasi ruang gerak masyarakat dan melakukan intervensi demi mempertahankan kekuasaannya.
Berikut ini beberapa peraturan yang terbit di masa Orde Baru berkaitan dengan pemberantasan korupsi :
GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur yang Berwibawa dan Bersih dalam Pengelolaan Negara,
GBHN Tahun 1978 tentang Kebijakan dan Langkah-Langkah dalam rangka Penertiban Aparatur Negara dari Masalah Korupsi, Penyalahgunaan Wewenang, Kebocoran dan Pemborosan Kekayaan dan Kuangan Negara, Pungutan-Pungutan Liar serta Berbagai Bentuk Penyelewengan Lainnya yang Menghambat Pelaksanaan Pembangunan,

Undang-Undang No.3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi,
Keppres No. 52 Tahun 1971 tentang Pelaporan Pajak Para Pejabat dan PNS,
Inpres Nomor 9 Tahun 1977 tentang Operasi Penertiban,
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.

Reformasi : Perjuangan Pemberantasan Korupsi Masih Berlangsung
Berganti rezim, berganti pula harapan rakyat Indonesia untuk bisa mengenyahkan koruptor dari Indonesia. Orde Baru kandas, muncul pemerintahan baru yang lahir dari gerakan reformasi pada tahun 1998. Di masa pemerintahan Abdurrahman Wahid Muncul Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN. Pemerintahan Gus Dur kemudian membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain: Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya.

Pada masa itu, ada beberapa catatan langkah radikal yang dilakukan oleh pemerintahan Gus Dur. Salah satunya, mengangkat Baharudin Lopa sebagai Menteri Kehakiman yang kemudian menjadi Jaksa Agung. Kejaksaan Agung RI sempat melakukan langkah-langkah kongkret penegakan hukum korupsi. Banyak koruptor kelas kakap yang diperiksa dan dijadikan tersangka pada saat itu.
Di masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri, berbagai kasus korupsi menguap dan berakhir dengan cerita yang tidak memuaskan masyarakat. Masyarakat mulai meragukan komitmen pemberantasan korupsi pemerintahan saat itu karena banyaknya BUMN yang ditenggarai banyak korupsi namun tak bisa dituntaskan. Korupsi di BULOG salah satunya.

Di tengah kepercayaan masyarakat yang sangat rendah terhadap lembaga negara yang seharusnya mengurusi korupsi, pemerintahan Megawati kemudia membentuk Komisi Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi (KPTPK). Pembentukan lembaga ini merupakan terobosan hukum atas mandeknya upaya pemberantasan korupsi di negara ini. Ini yang kemudian menjadi cikal bakal Komisi Pemberantasan Korupsi.

KPK Lahir, Pemberantasan Korupsi Tak Pernah Terhenti
Perjalanan panjang memberantas korupsi seperti mendapatkan angin segar ketika muncul sebuah lembaga negara yang memiliki tugas dan kewenangan yang jelas untuk memberantas korupsi. Meskipun sebelumnya, ini dibilang terlambag dari agenda yang diamanatkan oleh ketentuan Pasal 43 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, pembahasan RUU KPK dapat dikatakan merupakan bentuk keseriusan pemerintahan Megawati Soekarnoputri dalam pemberantasan korupsi. Keterlambatan pembahasan RUU tersebut dilatarbelakangi oleh banyak sebab. Pertama, perubahan konstitusi uang berimpilkasi pada perubahan peta ketatanegaraan. Kedua, kecenderungan legislative heavy pada DPR. Ketiga, kecenderungan tirani DPR. Keterlambatan pembahasan RUU KPK salah satunya juga disebabkan oleh persolan internal yang melanda system politik di Indonesia pada era reformasi.
Di era Presiden SBY, visi pemberantasan korupsi tercermin dari langkah awal yang dilakukannya dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 dan kemudian dilanjutkan dengan penyiapan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN) yang disusun oleh Bappenas. RAN Pemberantasan Korupsi itu berlaku pada tahun 2004-2009. Dengan menggunakan paradigma sistem hukum, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono diuntungkan sistem hukum yang mapan, keberadaan KPK melalui Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang terpisah dari pengadilan umum, dukungan internasional (structure), dan instrument hukum yang saling mendukung antara hukum nasional dan hukum internasional.

Pemerintahan boleh berganti rezim, berganti pemimpin, namun rakyat Indonesia menginginkan pemimpin yang benar-benar berkomitmen besar dalam pemberantasan korupsi. Harapan dan keinginan kuat untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi telah disandarkan di pundak pemimpin baru negara ini: Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kemauan politik kuat yang ditunjukkan untuk mendukung lembaga pemberantas korupsi di negeri ini yang nantinya akan dicatat sebagai sejarah baik atas panjangnya upaya pember
antasan korupsi yang selama ini sudah dilakukan. Dan kita sedang bersama menunggu dan menyimak bagaimana kiprah Jokowi melawan korupsi. (Sumber: acch.KPK.go.id, dengan penambahan di akhir tentang Jokowi)

0 komentar:

Posting Komentar

 
(c) Copyright Amarah | About | Contact | Policy Privacy