FPI Sebagai Gejala Kebangkrutan Borjuis Nasional Indonesia
Ditulis oleh Pandu Jakasurya Senin, 10 Oktober 2011 21:22
Dalam kosakata Marxis,
Lumpenproletariat adalah lapisan klas buruh yang membusuk. Orang-orang dari lapisan ini tidak terlibat dalam proses produksi sosial, yang lahir akibat dari ketidakmampuan sistem kapitalisme ini untuk menciptakan lapangan perkerjaan layak bagi rakyat pekerja. Tidak heran kalau kebanyakan di antara mereka menganggur. Hidup dari “remah-remah roti” yang
dijatuhkan dari meja makan tuan-tuan besar, mereka tidak memiliki kesadaran klas (class consciousness) dan secara inheren mempunyai kecenderungan reaksioner. Mereka adalah bahan bakar kontra-revolusi. Pada setiap aksi reaksioner mereka ada di sana. Mereka adalah alat penggebuk di tangan klas penguasa dan pentung di genggaman para penjaga status quo. Mereka adalah kambing-kambing penanduk pada suatu ketika, dan kambing-kambing sembelihan yang siap dikorbankan pada saat yang lain, seturut tujuan dan kepentingan kaum kuasa. Dari klas penguasa feodal, klas kapitalis, sampai para burjuis kecil yang menjadi kepanjangan tangan burjuasi dalam mesin birokratik Negara, sama-sama “memanfaatkan jasa mereka”, dan menjerumuskan mereka seperti menggiring hewan-hewan tak berakal ke pembantaian. Lumpenproletariat adalah kaum yang pada satu sisi menjijikkan namun pada saat yang sama layak dikasihani. Kurang-lebih itulah Front Pembela Islam (FPI). Dibentuk oleh para perwira tinggi dan para eks perwira tinggi polisi yang sudah kadung bejat dalam jejaring struktural kapitalisme birokrat dan kapitalisme kroni, dengan diberi pakaian Islam konservatif di bawah kharisma feodal seorang habib, para preman dan pengangguran itu benar-benar menjadi alat pemerasan dan penghajar siapa saja yang dipandang tidak seiring sejalan dengan kepentingan setan-setan birokratik dan kroni. Tak ayal lagi, para preman berseragam dan para preman bersorban bahu-membahu menjelma menjadi seekor monster reaksioner berkepala tujuh yang durjana bukan alang-kepalang. Agama (-agama), yang secara sosio-historis lebih sering berfungsi sebagai pemberi legitimasi dan justifikasi terhadap kemapanan yang menindas, menghisap, dan mengalienasi manusia, adalah jerami kering yang paling mudah terbakar atau dibakar. Seminar Waria dibubarkan paksa, Kaum Ahmadiyah disembelih, dan gereja-gereja ditutup paksa, di depan mata polisi yang justru memfasilitasi para Lumpenproletariat yang menjelma menjadi laskar “suci” preman bersorban FPI. Di saat bulan Ramadhan nan penuh rahmat, mereka mengobrak-abrik warung-warung dan rumah-rumah makan untuk memastikan setan-setan benar-benar dibelenggu dan tidak bisa mengganggu manusia. Dengan sentimen yang disulut oleh fanatisme buta dan mata yang disilaukan oleh gemerincing recehan yang dirogoh dari saku para tuan besar di tengah frustrasi karena perekonomian yang sulit-membelit, Lumpenproletariat berteriak-teriak mentakbirkan nama Tuhan sembari mengacung-acungkan pentungan. Bagi kaum Sosialis Revolusioner, sepak terjang FPI adalah bayangan dari realitas yang sebenarnya. Sepak terjang mereka semu. Ada realitas sejati yang ada di balik bayang-bayang tersebut. Realitas tersebut adalah cacat watak burjuasi nasional Indonesia, yang lahir dari perkawinan haram imperialisme Belanda dan feodalisme Nusantara. Seolah merupakan takdir historis, burjuasi nasional yang lahir dari perkawinan haram itu memiliki watak komprador, birokrat, dan kroni. Komprador: menghamba kepada imperialis, menghisap rakyat sendiri, menjual mereka sebagai budak, dan membuka lebar-lebar negeri ini untuk dijarah-rayah oleh pihak imperialis. Birokratik: menggunakan mesin birokrasi Negara untuk menghisap dan menindas rakyat, manipulasi, dan korupsi. Kroni: membangun perekonomian kapitalis dalam lingkup tali-temali penguasa birokrasi dan pengusaha dengan wujud oligarki. Mari kita periksa, adakah burjuasi nasional Indonesia, maupun burjuis kecil yang mewakili mereka di parlemen, kabinet, dan badan-badan “penegak hukum”, yang benar-benar terbebas dari watak komprador, birokrat, dan kroni? Ketika alat-alat kekerasan burjuis, yakni tentara dan polisi, harus direformasi, tentu saja setan-setan komprador, birokrat, dan kroni tidak serta-merta menyetujui. Mereka membuat Ambon dan Poso berkobar dan berdarah-darah. Mereka juga membentuk FPI dengan dalih amar ma’ruf nahi munkar. Bahan bakunya Lumpenproletariat, bahan bakarnya sentimen agama. Tapi kepentingan sesungguhnya, tak lain tak bukan, ekonomi-politik burjuis korup. Sekarang, apa yang harus dilakukan? Selaku Kaum Sosialis kita melihat burjuasi nasional Indonesia tidak akan mungkin menjadi solusi persoalan-persoalan berat yang dihadapi bangsa Indonesia. Justru mereka ada pada pangkal masalah negeri yang konon masyhur sebagai untaian zamrud di khatulistiwa ini. Takdir historis mereka negatif. Meski jargon-jargon yang dibuat dan kuasi-kuasi sistem yang dibangun, mereka tidak dapat membangun demokrasi apalagi menegakkan kedaulatan nasional. Total depravity mereka struktural dan kultural, dan entah karena kebodohan, kedegilan, dan/atau keculasan, secara sistematis mereka sedang menggiring bangsa Indonesia ke dalam jurang kenistaan – sebagai bangsa jajahan dalam deru-deram kendaraan imperialisme yang bernama Globalisasi. FPI adalah gejala, bukan akar penyakitnya. Betul, karena mereka Lumpenproletariat, mereka reaksioner dan karenanya menjijikkan. Tapi betul pula, justru karena mereka Lumpenproletariat, mereka patut dikasihani. Mereka dimanipulasi tanpa menyadari ketermanipulasian mereka. Mereka perlu dibebaskan. Mereka butuh penyadaran yang membuat mereka tiba pada kesadaran kritis, kesadaran klas. Mereka butuh pengorganisasian yang memungkinkan mereka dengan perkasa menolak manipulasi tuan-tuan besar mereka. Mereka juga butuh pengorganisasian yang memungkinkan mereka berada di bawah panji-panji proletariat sadar klas yang siap menunaikan tugas sejarahnya. Kelak, dalam dukungan mereka kepada proletariat dan persatuan mereka dengan kaum tani, Lumpenproletariat termasuk FPI, akan sanggup melemparkan kuk perhambaan tuan-tuan besar dari penudak-pundak mereka. Setelah terbebaskan dari perhambaan watak, mereka akan bergerak meruntuhkan struktur-struktur yang menindas mereka dan bahu-membahu dengan proletariat dan kaum tani memulai suatu tatanan baru. Suatu tatanan yang adil-manusiawi. Suatu masyarakat sosialis! Untuk itu, kaum Sosialis mengerti bahwa partai mereka, yang bekerja seturut dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang dipelajarinya secara kritis dari Karl Marx, Frederick Engels, V.I. Lenin, Leon Trotsky, Rosa Luxemburg, Antonio Gramsci, dan Ted Grant, harus juga mengarahkan kerja-kerja intensif di kalangan Lumpenproletariat. Karena posisi klas mereka yang sangat buruk, Lumpenproletariat mudah terhegemoni oleh tuan-tuan besar mereka. Bahkan sudah lama mereka terhegemoni! Karena itu, melalui kerja-kerja politik kontra-hegemoni, kaum Sosialis harus bekerja keras menyingkirkan hegemoni para tuan besar itu, dan menggantikannya dengan kesadaran kritis, organisasi, dan mobilisasi dalam keterkaitan erat dengan kaum kaum buruh, kaum tani, dan kaum-kaum tertindas lainnya. Pada analisa terakhir, satu-satunya cara kita bisa “membasmi” lumpenproletar dari bumi Indonesia adalah dengan program penciptaan lapangan kerja layak untuk setiap insan, program pendidikan gratis yang universal, program pelatihan kerja, kesehatan gratis, dll., dalam kata lain program sosialisme Dengan demikian tidak ada lagi satupun rakyat Indonesia yang terpaksa hidup dalam kondisi lumpenproletar yang memilukan ini, dan terdorong ke lembah kejahatan dan digunakan oleh para kapitalis sebagai alat penggebuk rakyat pekerja. Dalam konteks ini, kaum Sosialis menyerukan kepada orang Kristen, kaum Ahmadiyah, para waria, dan orang-orang tertindas lainnya: “Janganlah gantungkan harapanmu kepada burjuasi-nasional Indonesia, yang malah terbukti telah membuat Negara ini menjadi Negara yang gagal. Pastilah engkau akan kecewa!” Kaum Sosialis menyerukan pula kepada orang Kristen: “Pertimbangkanlah untuk menyatukan dirimu dengan aspirasi, keprihatinan, prinsip-prinsip, dan gerak perjuangan proletariat, yang secara historis “ditakdirkan” untuk “melahirkan” tatanan perikehidupan baru yang kurang-lebih bersesuaian dengan visi dan pokok pewartaan Yesus dari Nazaret: Pemerintahan Allah. Tiadalah engkau akan kecewa!” Dan kepada Lumpenproletariat termasuk anggota-anggota dan para simpatisan FPI kaum Sosialis berseru: “Sadarilah kemalanganmu. Kritisilah bahwa engkau telah dan sedang dimanipulasi oleh tuan-tuanmu dengan mengatasnamakan agama dan dengan upah yang tak lebih dari “remah-remah roti” dari meja tuan-tuanmu! Lepaskan dirimu dari kesadaran palsu, berorganisirlah di bawah panji-panji kaum buruh, kaum tani, dan kaum-kaum tertindas lainnya, dan berlawanlah terhadap tuan-tuan besarmu yang telah memperalatmu dan kelak mungkin akan mencampakkanmu!” Mari berjuang, demi masa depan sosialis umat manusia! Ungaran, 30 September 2011
0 komentar:
Posting Komentar